Judul : [Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 14 (Hal. 75)
link : [Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 14 (Hal. 75)
[Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 14 (Hal. 75)
Hampir semua teman seangkatan kami yang datang ke reuni itu. Termasuk Monalisa yang kabarnya adalah otak dari acara ini karena kebetulan dia sedang libur kuliah. Seperti yang sudah aku tebak gadis super kaya yang cantik itu selalu punya tempat di Paris atau Roma atau London untuk menghambur-hamburkan kekayaan keluarga dengan alasan kuliah dan kualitas. Dunia gemerlap yang terbalik dengan dunia orang-orang seperti aku, Andin, Genta dan Rexi.
“Demi Tuhan, Rexi, is that really you?” dia menghampiri kami yang sedang berkumpul sambil minum di satu sudut sementara teman-teman kami yang lain benar-benar menikmati pesta.
Ruang itu tumpah ruah oleh minuman, music dan tarian.Dan malam itu Monalisa mengenakan gaun mini keemasan memikat yang membuat mata-mata makhluk bertitel laki-laki hampir meloncat keluar dari rongganya.
Rexi hanya tersenyum. “Apa kabar?” balas dia, dan aku yang duduk di sampingnya, langsung menggandeng lengannya.
Monalisa melirik dengan sanksi ke arahku. “Ternyata masih lo juga ya…,” katanya, senyum manisnya memamerkan giginya yang putih dan rapi –mempesona.
Aku hanya membalas dengan menatapnya. Canggung. Aku tidak percaya bahwa saat ini, aku nggak bersikap sewot padanya. Sungguh, aku sangat malu terlihat seperti ini.
Untunglah, dia segera berlalu. “Okay, just enjoy the party…,” dia berbalik dengan sedikit lambaian tangan. Tapi, ekspresi wajahnya yang dihiasi senyum sinis, menunjukan bahwa ia cukup meremehkan kami.
Dan yang aku lakukan saat itu hanya menggenggam erat lengan Rexi. Untung dia nggak mengincarnya lagi.
“Hei…,” tegur dia, tersenyum mengingatkan supaya nggak terlalu khawatir Monalisa bakal kembali dan menyanderanya –entah pikiran konyol apa itu. Lalu Rexi mengusap-usap kepalaku sebelum kembali ke Andin dan Genta yang sibuk menuangkan minuman ke gelas.
Wah, sudah lama sekali aku nggak merasakan suasana ini!
“Vdah deh, Ndin…,” kata Genta pada Andin yang masih kelihatan sedih karena baru putus dari Arka –pacarnya selama dua tahun ini. “Cowok mah banyak….”
“Iya tuh!” kataku berseru sambil bersandar ke lengan Rexi di sampingku dan kepalaku terasa sangat berat.
Rexi terdengar tertawa, di mataku wajah dan rambutnya kacau sekali. Mungkin karena mabuk. “Masih ada, Genta…,” katanya, cekikikan dan entah sejak kapan dia jadi humoris.
“Genta mah cowok jelalatan…,” gerutu Andin kembali menjatuhkan kepalanya di atas meja dan aku ikut tertawa melirik Genta yang entah kenapa juga ikut tertawa.
“Enak dong jelalatan…,” balasnya. “Nggak pernah disakitin..”
“Ah, apaan sih lo!” jeritnya dan mereka mulai main dorong-dorongan.
“Kenapa kalian nggak jadian aja?” kataku, lalu tertawa. “Kan cocok,”
“Ih, ogah gue!” tandas Andin mendorong Genta dengan tangannya yang lunglai. Lalu aku tertawa makin keras melihat mereka mulai saling dorong dengan jenaka. Lucunya kami terus tertawa seperti orang gila.
Dan tiba-tiba saja wajahku ditarik, lalu kurasakan sebuah sentuhan di bibirku. Walaupun aku mabuk, aku tahu bahwa di sekitar kami ada banyak orang yang melihat. Parahnya, Rexi nggak peduli dan aku juga nggak menghitung berapa lama dia menciumku.Tentu saja nggak akan ada yang ribut atau berpikiran jelek –kami menikah.
“Makanya…cepat bikin anak sana!” celetuk Andin, lalu kami tertawa lagi.
***
Kepalaku sakit. Aku terjaga karena ada sesuatu yang mengganjal di perutku dan rasanya ingin keluar. Aku berlari ke kamar mandi dan di sana, aku memuntahkan semua isinya. Keadaanku buruk dan aku merasa mual setiap pagi sampai lemas. Tertegun, aku mencoba berpikir dengan tenang untuk sebuah kemungkinan.
Aku masih ingat perasaan khawatir saat aku menunggu tiga menit sambil memegang test pack di tanganku yang gemetar. Dulu aku selalu khawatir jika satu garis lagi muncul karena itu akan merusak segalanya –sekolahku dan hal-hal di sekitarku. Tapi, sekarang aku begitu mengharapkan garis kedua timbul dengan cepat. Ya, aku begitu mengharapkannya selama dua tahun ini dan ternyata…pagi itu aku berlari keluar dengan begitu riangnya. Memeluk Rexi yang selalu menunggu di depan pintu kamar mandi.
Aku mulai menghadapi fase yang rentan antara emosi yang labil, dengan beberapa permintaan yang aneh dan pertengkaran kecil yang membuatku seperti bocahmanja. Rasanya aku begitu bosan menunggu dari minggu ke minggu sambil memikirkan sebuah nama. Nama yang cantik untuk anak perempuan dan nama yang gagah untuk anak lelaki. Aku berhenti bekerja karena keadaanku sudah nggak memungkinkan.
Setiap hari aku memandang diriku yang menyamping di depan cermin. Memperhatikan seberapa cepat pertumbuhan perutku membesar sampai saat aku harus menopang pinggangku untuk bisa berjalan. Mengenakan daster longgar dan begitu mudah lelah. Rasanya sangat berat untuk bergerak ke sana ke mari.
Hingga hari itu datang juga. Hampir nggak sadarkan diri oleh rasa sakit yang kupikir akan membunuhku, aku mendengar suara tangisan yang amat keras. Penglihatanku yang samar-samar masih bisa menunjukan bahwa seorang anak perempuan dengan kulit merah baru saja lahir. Dan Rexi terlihat menggendongnya, sebelum mataku menutup.
Itu adalah saat-saat paling menakjubkan dalam hidupku. Hari ketika Adjani lahir dan kami adalah sepasang orang tua muda yang sangat bahagia. Sebelum keluarga Rexi kembali hadir dalam kehidupan kami.
***
Suara Adjani yang menangis keras membangunkan aku. Seingatku, aku baru saja tidur setengah jam yang lalu. Dia berguling ke sana ke mari nggak sabar menunggu sebelum kedua tanganku mengangkatnya dari atas kasur. Bayi kecil mungil berambut berombak dan hitam legam itu belum juga berhenti menangis dalam pelukanku.
Lagi-lagi dia terbangun oleh suara dan getaran kereta yang lewat. Yah, mungkin kami harus pindah dari sini, selain karena rumah yang terlalu sempit, lingkungannya juga nggak tenang.
Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu depan. Mungkin itu Andin atau Genta yang sering datang ke sini sejak Adjani ada, meramaikan rumah yang sepi ini.
Tapi, yang berdiri di depan pintu adalah seorang wanita berusia hampir separuh abad dan mengenakan pakaian mahal yang mengembalikan sosok menakutkan itu ke hadapanku. Ibunya Rexi.
Dia menatapku masih sama dengan yang dulu –sebelah alisnya terangkat, seperti baru menemukan seonggok noda di lantai yang mengotori jalannya. Tapi, bibir tipisnya yang selalu mengeluarkan kata-kata tajam, tersenyum –dan itu membuatku menggigil.
“Mana Rexi?” dia bertanya lewat suaranya yang berat, dalam dan datar. Pandangan matanya sudah lebih dulu menggeledah ruang depan dengan penuh rasa ingin tahu.
Aku mundur beberapa langkah agar ia masuk. Celakanya, aku membiarkannya menunggu beberapa saat untuk membangunkan Rexi sebelum aku mengambil Adjani dari tempat tidurnya lalu ikut ke ruang depan di mana akhirnya Rexi bertemu dengan ibunya.
“Kamu…,” bibirnya terlihat gemeretak, dan suaranya tertahan saat memandang Rexi. Dalam sesaat, ia menjadikanku seperti perempuan jahat yang tega memisahkan seorang putra dari ibunya sendiri. Ia melangkah pelan ke arah Rexi yang terdiam –dengan baju dan celana pendek lusuh, serta rambut panjang yang hampir menutupi seluru darinya. “Kamu kenapa, Nak?”
“Mama apa kabar?” tanya Rexi, nadanya terdengar tenang. Kurasa ia juga tersenyum ramah padanya. “Nggak biasanya Mama ke sini,”
Setetes air mata terlihat menetes dari mata wanita itu dan aku memalingkan wajahku dengan sedih. “Mama ini tetap ibu kamu,” kata dia, dan sekarang suaranya gemetaran. Matanya terus saja memandangi Rexi yang berdiri di depanku. Sambil memperhatikan Rexi, ia menggeleng-geleng, mungkin merasa Rexi kelihatan nggak terurus. “Anak nakal… kenapa kamu bikin Mama khawatir?”
Rexi diam, kepalanya menunduk. Dan wanita itu memeluknya dengan rindu. “Mama berusaha untuk nggak peduli karena kamu durhaka…,” katanya mulai terisak. “Kamu ngelawan Mama, tau?”
“Maafin aku, Ma…,” Rexi terlihat berusaha tenang.
“Tapi, setiap detik Mama nggak bisa berhenti mikirin kamu…,” ucapnya lagi lalu melepaskan Rexi untuk memandanginya sekali lagi. “Lihat kamu… Mama nyaris nggak ngenalin kamu lagi…padahal kamu anak Mama….”
Rexi masih diam.
Lalu wanita itu menoleh padaku –pada bayi dalam gendonganku. “Kamu keterlaluan…,” umpatnya kembali menatap Rexi. “Kamu nggak kasih Mama kabar kalau istri kamu melahirkan..”
Aku menelan ludah, cukup syok dengan kata ‘istri’ yang baru terlontar dari bibirnya. Itu terdengar seperti pengakuan yang kutunggu. Tapi, aku lebih kaget lagi saat dia menghampiriku.
Adjani baru berhenti menangis dan wanita itu mengulurkan tangan meraihnya, untuk menggendongnya. Dengan ragu-ragu aku melirik Rexi yang memberiku isyarat untuk menyerahkannya –membiarkan neneknya menggendong. Dan aku masih merasa bersedih, telah menjadi jurang.
“Anak perempuan yang cantik…,” wanita itu tersenyum saat memandang wajah Adjani –yang memang merupakan tiruan wajah ayahnya. Ia menyeka air matanya dan mulai menghibur Adjani.
Aku baru sadar bahwa kehadiran seorang anak bisa mengubah segalanya. Segalanya tapi nggak dengan perlakuan ibu Rexi yang membuatku merasa lebih buruk dari saat aku hanya seorang gadis SMA yang miskin dulu.
ooOoo
Dеmіkіаnlаh Artikel [Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 14 (Hal. 75)
Andа ѕеkаrаng mеmbаса artikel [Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 14 (Hal. 75) dеngаn lіnk https://ebookzea.blogspot.com/2020/08/baca-novel-dewasa-love-at-future-past_6.html
0 Response to "[Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 14 (Hal. 75)"
Post a Comment