Judul : [Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 14 (Hal. 74)
link : [Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 14 (Hal. 74)
[Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 14 (Hal. 74)
“Kamu ngapain semalam, pagi-pagi gini udah nguap-nguap?” tegur Mas Ubai yang kembali pasang aksi jutek yang bikin aku jadi makin nggak nyaman. Dia langsung ngeloyor pergi keluar seenak udelnya setelah menyindirku. Aku tahu maksud omongannya ke mana. Kayak nggak suka –bener-bener nggak suka, karena dia bikin sinetron sendiri di kepalanya soal kenapa aku masih nguap.Yah, namanya juga baru enam bulan nikah…pikirku sambil menguap lagi dan manyun di konter sambil melempar pandangan keluar pintu kaca –kembali menerawang.
Kira-kira gimana ya kerjaan Rexi? Apa dia bakal betah dengan nampan, piring-piring kotor, pelanggan yang cerewet atau sesama pelayan cewek yang godain Rexi?
Untungnya, toko bisa tutup tepat waktu jadi aku masih bisa on time untuk belanja dan menyiapkan makan malam. Jam sepuluh, semua udah –goreng ayam, sambal terasi dan sayur asam ala Ellody siap tapi yang ditunggu belum juga datang.
Sesekali, aku membuka pintu dan melihat ke ujung gang. Cuma terlihat kereta lewat menghembuskan angin kencang dan getaran kurang dari satu menit, sebelum sunyi. Hanya suara anjing Pak Masri tetangga sebelah yang terdengar sedari tadi dan biasanya aku jadi parno sendiri.
Kerja di café mana sih sampai malam begini? Lagian bukannya kerja di café itu ada shift-nya?
Aku sih percaya kalau Rexi bukan tipe jelalatan tapi aku kenal Genta. Dia itu suka larak lirik sana sini tapi gagal terus mendapatkan buruannya. Gimana kalau…aaah, aku jadi ngelantur. Genta itu sahabatku, nggak mungkin dong menjerumuskan teman sendiri.Ttapi, kenapa Rexi belum pulang juga?
“Ellody?” suara Rexi terdengar, dan aku segera membuka mataku. Dia terlihat di depan pintu, baru aja masuk dengan sebuah tas renjeng di tangannya. Segera ia menghampiriku dengan wajah sumringah ketika melihatku. “Kamu ketiduran?’
Aku mengucek-ngucek mataku yang perih. Dan aku baru sadar kalau aku ketiduran di meja makan sementara makanannya udah dingin semua.
“Kamu masak?” tanya dia dan aku mengangguk sambil menguap lagi.
“Kamu lama amat sih…,” gerutuku.
Rexi masih tersenyum sumringah. “Aku bawa sesuatu buat kamu,” katanya, memberikan tas itu padaku. “Tadi kebetulan lihat pas mau pulang,”
Aku sempat tertegun dan melongo saat melihat kejutannya. Satu set kuas lukis.
“Aku mau kamu melukis lagi,” katanya, tersenyum. “Walaupun kita memang harus realistis, tapi tanpa mimpi kita nggak akan bisa seperti ini… karena itu kamu… harus melanjutkan apa yang udah kamu mulai….”
Aku masih memandangi empat tangkai kuas di tanganku dan hampir meneteskan air mata. Teringat pada peti kayu di dapur yang nggak pernah kubuka lagi. Semua alat-alat lukisku rusak karena aku mematahkannya. Seingatku di dalamnya hanya ada sampah, dan sampah seharusnya dibuang, tapi aku nggak pernah mau melakukannya. Karena…semua itu tetap adalah hasil kerja kerasku.
Pagi-pagi sekali, Rexi membantuku membukanya sebelum berangkat kerja. Benar, karya-karya yang dulu tidak terselesaikan sekarang hanya menjadi sampah. Aku mendesah berat karena aku tidak bisa melukis hal yang sama dua kali. Karena saat ini semua hal di sekitarku sudah berubah. Aku kan melukis hal-hal baru yang kudapatkan dari kebahagiaan akan kehidupanku yang sekarang di samping cintaku –sumber inspirasi terbesarku.
***
November tahun kedua kami terasa datang lebih cepat dari seharusnya. Rasanya baru seperti kemarin kami mengendap-endap keluar dari hidup yang seharusnya kami jalani antara gadis bodoh pemimpi dan sang pangeran impian. Aku telah membawa lentera dalam gelap yang menyinari jalanku untuk bisa bertemu diam-diam dengan Rexi yang menungguku di suatu tempat.
Dia melingkarkan kedua tangannya di bahuku dan kita akan mengikuti irama detak jantung kita yang senada. Punggungku bersandar ke dadanya yang berdenyut seperti jarum jam yang terus berputar.
Satu pagi aku terbangun dengan perasaan nggak enak. Panas matahari sudah menyinari kamar sejak tadi dan aku menutup mataku rapat-rapat karena nggak ingin segera bangun. Tubuhku terasa begitu lelah. Aku tahu, beberapa jam lalu Rexi sudah pergi dan begitu pintu tertutup dari luar, tempat ini akan sunyi. Seringkali aku merasa hampa setiap terbangun sendiri, seolah ada sesuatu yang hilang di sini –sementara memang hanya ada kami berdua. Aku menerawang dari sudut ke sudut sambil menguap.
Sepi.
Setiap bangun, aku selalu merasa ada yang kurang di sini. Ya, tawa anak-anak dalam sebuah keluarga. Aku dan Rexi belum bisa mewujudkan keluarga yang sempurna. Kami belum mendapatkan kesempatan itu dan aku mulai memikirkannya.
Jam empat sore, Andin datang dengan beberapa makanan kecil. Sepertinya baru saja pulang kuliah karena dia membawa banyak tumpukan buku dalam pelukannya. Wajahnya tampak mengeluh saat aku membukakan pintu dan ia langsung melempar semua yang ia bawa di atas meja sebelum ia menjatuhkan punggungnya di sofa.
“Gue capek banget,” kata dia padaku sambil menoleh dengan bosan. “Tugas gue banyak dan gue belum ngerjain satu pun….”
“Emang lu ngapain aja sih?” tanyaku, mencoba sedikit peduli dari biasanya.
Dia hanya menghela nafas. “Lu sih enak,” katanya, lesu. “Nggak perlu harus mikirin kuliah,”
“Kenapa sih lo down banget? Berantem ama cowok lo?”
Andin hanya mendengus, sambil menarik punggungnya menjauh dari sandaran sofa buat mengambil sesuatu dari dalam tasnya. “Ada undangan reuni nih,” kata dia, ternyata itu maksud dia ke sini. “Minggu depan. Lo dan Rexi harus datang,”
Kami nggak mungkin datang. Karena orang-orang bakal lihat seperti apa kita sekarang dan betapa jauh perbedaan Rexi yang mungkin bakal bikin diaditertawakan. Mereka akan bilang ‘Lihat, apa yang Ellody lakukan terhadap seorang Rexi Adam Prawira’. Dengan keadaan yang begitu sulit sekarang, kami akan dihujani hinaan. Ya, kami nggak akan datang.
Aku nggak tahu bahwa Rexi akan bertanya soal undangan itu.
“Genta bilang Sabtu depan ada reuni,” katanya. “Andin udah dapat undangannya. Kamu nggak terima?”
Aku menggeleng. “Nggak…,” jawabku tenang, dan mulai ragu-ragu membuat goresan warna kuning di kanvasku. Sepertinya pertanyaan itu baru saja membuyarkan sebuah inspirasi di dalam kepalaku. “Kalau kita nggak diundang, nggak usah datang,”
Rexi terdiam sejenak. Sebelum ikut duduk di sampingku, dan menyadari sesuatu. “Kita nggak mungkin nggak diundang, Ellody,.” ucapnya, menatapku serius. “Andin yang pegang semua undangannya. Dia belum nyerahin ke kamu?”
Aku terdiam, dan mendadak bingung. Kalau sudah seperti ini, berbohong juga nggak ada gunanya. “Pokoknya aku juga nggak mau datang,” kataku, sambil berdiri menaruh kuasku di atas palet dan meninggalkan kursiku.
“Kenapa?” tanya dia kelihatan protes, sambil mengikutiku ke dapur dan aku semakin bingung gimana jelasinnya.
“Aku cuma nggak mau memperlihatkan keadaan yang sekarang…,” jawabku pelan.
“Kamu malu menikah sama aku?” suara Rexi meninggi, dia berbicara tepat di depan telingaku dan aku masih tertegun di depan kulkas karena tanganku nggak kuat menarik gagangnya sampai terbuka.
Aku menggeleng dengan cepat, kutatap wajahnya dengan sangat menyesal. “Justru aku yang nggak mau kamu malu karena nikah sama aku…karena….”
“Karena kita miskin? Karena kita nggak punya apa-apa?!” Rexi berteriak, sebelum ia membalikan badannya dengan kesal. “Ya ampun, Ellody….”
“Aku nggak mau kamu jadi lelucon, Rexi…,” kataku, menghampirinya, memohon di belakang punggungnya dan mataku hampir meneteskan air mata sedih.
“Lelucon apa sih?” balas dia, berbalik menatapku. “Aku nggak merasa menikahi kamu karena lelucon…, kenapa kamu nggak bisa berpikir positif?”
“Karena aku yang bawa kamu ke sini!” kataku, keras. “Lihat kamu sekarang… kamu….”
“Siapa peduli, Ellody?” kata dia, menangkap wajahku yang menangis dengan kedua tangannya yang menahanku untuk menatap ke wajahnya lekat-lekat. Nggak ada kemarahan di sana, hanya wajah teduh yang setiap kali aku memandangnya, semua beban rasanya memudar di belakangnya. “Justru aku ingin datang ke sana untuk menunjukan bahwa kita nggak berakhir menyedihkan…untuk menunjukan sama mereka yang dulu menertawai kita kalau kita masih selalu bersama….”
Kita akan selalu bersama. Dalam sekejap keyakinanku yang salah berbalik, menjadi kepastian bahwa kami akan membuat mereka geleng-geleng kepala. Aku ingat, Monalisa yang menakut-nakuti aku soal nasibku yang akan sama dengan mantan pacar Rexi yang dulu. Aku nggak berakhir seperti Wanda, karena sekarang Rexi Adam Prawira adalah suamiku.
***
Dеmіkіаnlаh Artikel [Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 14 (Hal. 74)
Andа ѕеkаrаng mеmbаса artikel [Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 14 (Hal. 74) dеngаn lіnk https://ebookzea.blogspot.com/2020/08/baca-novel-dewasa-love-at-future-past_44.html
0 Response to "[Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 14 (Hal. 74)"
Post a Comment