[Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 14 (Hal. 73)

[Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 14 (Hal. 73) - Hallo ѕаhаbаt Mari Membaca Novel, Pаdа Artikel уаng аndа bаса kali іnі dеngаn judul [Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 14 (Hal. 73), kаmі tеlаh mempersiapkan аrtіkеl іnі dеngаn bаіk untuk anda bаса dan аmbіl іnfоrmаѕі dіdаlаmnуа. mudаh-mudаhаn isi роѕtіngаn Artikel Love at the Future Past, уаng kаmі bagikan іnі dapat аndа pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : [Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 14 (Hal. 73)
link : [Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 14 (Hal. 73)

Baca juga


[Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 14 (Hal. 73)

Ch. 14 - Adjani

Ellody

“Kamu nggak dijemput?” tegur Mas Ubai sambil melirik jam tangannya waktu aku mau pamitan pulang.

Memang sih sudah hampir jam sepuluh. Tapi, aku menggeleng. “Masih ada bus kok jam segini,”  kataku, sambil tersenyum dan Mas Ubai masih saja mengernyit.

“Saya antar deh. Ini sudah jam sepuluh, harusnya kamu pulangnya dari jam sembilan tadi,”  kata dia, setengah marah-marah, kayaknya nggak rela banget aku berlama-lama di sini. Padahal tadi ada banyak kaset baru yang harus dirapikan, makanya selesainya lama.

Tapi, aku hanya tersenyum lagi. Apa Mas Ubai marah gara-gara masalah lain? Masih sebal sama aku misalnya. Soalnya di hari kelulusan saat dia menunggu berjam-jam, aku malah ketemu sama Rexi. Seingatku, mobilnya masih parkir sesaat sebelum aku melihat Rexi menungguku. Tapi, begitu kami akan meninggalkan sekolah BMW silvernya udah nggak kelihatan lagi. Aku sudah pernah bilang maaf sih. Tapi, kayaknya Mas Ubai nggak mau terima karena terlalu kecewa. Makanya aku sering dimarahi tanpa sebab. Namun, aku masih tahu yang namanya balas budi walaupun aku…nggak bisa membalas cintanya. Apalagi sekarang. Aku sudah bukan anak SMA lagi dan…terlalu nekat menerima lamarannya Rexi.

Dengan sedikit terpaksa, aku naik mobilnya Mas Ubai, karena dia nggak ingin aku pulang sendirian. Dalam perjalanan pulang menuju rumah dia sama sekali nggak bicara. Bikin aku merasa jadi makin bersalah. Tapi, harus gimana lagi. Selama mengenalnya, yang aku tahu dia hanya seorang bos, belum bisa dianggap teman juga walaupun bantuannya itu sudah nggak terhingga, tapi… aku kan juga nggak ngerti kenapa cewek lelet kayak aku bisa bikin dia naksir. Setiap, aku bertanya begitu ya, juga kenapa cowok sekaya Rexi sekarang tiba-tiba jadi suamiku. Yah, walaupun sekarang kami hidup seadanya.

Mobil berhenti dan aku nggak sabar pingin cepat-cepat turun. Karena auranya Mas Ubai benar-benar gelap. Aku juga nggak ngerti harus bilang apa lagi selain ‘Terima kasih’ dan ‘Maaf ngerepotin’. Kayak orang yang nggak ikhlas, Mas Ubai diam bahkan nggak melirik ke arahku sedikitpun saat aku turun. Benar-benar, kalau dia masih kesal sama aku kenapa juga dia mau mengantarku pulang? Dan harusnya, dia pecat aku juga kan?

Tapi, dia hanya pernah bilang, kerjaanku sama sekali nggak ada hubungannya. Bikin aku jadi lega, tapi, kalau sikapnya lebih garang begitu, lama-lama aku juga nggak betah kerja di sana. sepertinya, aku harus cari kerjaan yang baru.

“Hei, tunggu,”  kata Mas Ubai tiba-tiba saat aku ingin membuka pintu. “Walaupun kamu nggak memilih saya, tapi… saat semuanya nggak berpihak sama kamu, saya akan tetap berpihak ke kamu,”

Aku melongo. Mas Ubai mengatakan semua itu dengan angkuh, tanpa menoleh padaku.

Aku semakin bingung.  Rasanya mau bilang sekali lagi. “Aku udah nikah,”  tapi aku hanya turun dengan perasaan nggak enak, lalu terperanjat karena menemukan Rexi sedang berdiri di pinggir jalan dan ia melihatku turun dari sebuah mobil –yang ia tahu pasti, itu adalah mobilnya bosku.

Tanpa komentar, Rexi menungguku sampai ke depannya. Aku sedikit cemas sampai mobil Mas Ubai akhirnya melaju dan aku jelas kelihatan khawatir karena wajah Rexi benar-benar kesal. Rexi berbalik arah, dan mulai melangkah seolah nggak menghiraukanku. Sepertinya, dia kecewa menungguku terlalu lama di sana tapi malah melihat sesuatu yang nggak dia suka. Dia kelihatan lesu dan aku masih belum berani menyapa.

“Aku tahu, aku nggak bisa jemput kamu pakai mobil bagus,”  kata dia pelan, terdengar merajuk. “Dan sampai sekarang aku belum bisa kasih kamu apa-apa,”

“Rexi…,” ujarku, menggenggam tangannya saat kami berjalan bersama menuju rumah, melewati rel kereta yang makin sepi di malam hari. Hanya terdengar gunjingan samar orang-orang yang masih berada di luar rumah.

Kalau Rexi sedang marah, dia nggak akan mau bicara sepatah katapun. Dan aku pun ikut diam, karena setiap aku mencoba jelasin, sikap Rexi yang acuh bakal bikin aku kesal sampai kami ribut. Semua jadi nggak mudah. Waktu masih pacaran, kami sering berantem juga, tapi nggak pernah sampai diam-diaman.

***

Punggung Rexi yang tertidur sedari tadi nggak bergeming. Sejak kita masuk rumah sama-sama, dia langsung ke kamar dan tidur, kayaknya benar-benar menghindari percakapan, padahal aku ingin bilang kalau sebenarnya aku juga nggak mau diantar sama Mas Ubai. Aku hanya memandangi punggung itu sambil berharap dia bakal berbalik dan melihat kalau aku nggak bisa tidur kalau kita begini. Tapi, semakin berharap, aku malah putus asa menunggu, sampai akhirnya aku pun memutar badan, karena air mataku menetes. Aku mencoba tertidur, dengan memejamkan mata, mencoba untuk tenang sampai tiba-tiba kedua tangannya melingkat di tubuhku yang gemetaran menahan tangis.

“Besok pagi aku pergi sama Genta,”  kata dia dan aku mendengarkan dengan seksama. “Katanya sih ada kerjaan….”

Aku diam dan mulai merasa tenang.

“Ke mana? Dia mau ngajakin kamu cari kerja lagi?” tanyaku, agak skeptis. Jadi ingat saat Andin punya ide agar Rexi ikut modelling. Sebenarnya itu ide yang paling bagus yang pernah aku dengar saat ingat karena Rexi memang punya tampang yang bisa ‘menjual’. Tapi, itu juga adalah ide yang berakhir dengan konyol. Kalau seandainya nanti Rexi terkenal dan digilai cewek-cewek sih nggak apa-apa, walaupun aku bakal lebih sering ngelus dada. Masalahnya, yang ‘berminat’ sama Rexi itu bukan cewek tapi malah penyuka sesama jenis. Membayangkan Rexi bakal dipegang-pegang sama mereka bikin aku geli dan histeris sendiri.

Sekarang, cari kerjaan itu memang benar-benar sulit buat Rexi. Lebih-lebih dia nggak bisa apa-apa. Yang namanya anak gedongan, mana pernah hidup susah? Aku jadi merasa bersalah sudah membawanya ke dalam masalah.

“Ada western café yang baru buka,”  jelas Rexi. “Mungkin sementara aku bisa kerja di sana,”

Aku membalikan badanku, nggak sadar mengernyit heran padanya. “Kamu? Kerja di café?” aku nggak benar-benar yakin karena banyak alasan yang kalau aku sebutin satu-satu bakalan panjang. Dan yang terutama dari yang terutama sekali adalah Rexi nggak bisa pegang sapu dan nyuci piring. Aku nggak bisa membayangkan gimana Rexi bisa saja mecahin piring karena dia nggak bisa nenteng-nenteng nampan. Dan Rexi dengan kostum waiter hitam putih plus celemek itu…bukan dia banget. “Kayaknya kamu harus mikirin itu lagi deh,”

“Ellody…,” kata dia, tiba-tiba pegang tanganku sambil tersenyum. “Aku harus ngelakuin semua yang aku pikir nggak bisa aku lakuin supaya aku tahu dan belajar,”

“Iya, tapi….”

Rexi menyentil dahiku, menusuk gelembung-gelembung imajinasiku sampai meletus, dan aku terkesiap, saat ia menyatukan dahinya dengan dahiku. “Ini adalah hidup yang aku punya sekarang,”  ujarnya. “Buang jauh-jauh dari pikiran kamu soal Rexi yang dulu pernah kamu kenal. Aku ini suami kamu, Ellody….”

Aku mencoba tersenyum dan perlahan mulai menyadari bahwa bukan aku saja yang berubah. Rexi malah sangat jauh berubah. Rambutnya gondrong, kaca matanya kadang dipakai dan lebih sering nggak, nggak ada lagi setelan mahal –hanya kaos longgar dan jins butut yang lututnya disobek entah karena memang nge-trend atau belum bisa beli yang bagus.

“Aku bahagia seperti ini…,” bisiknya di telingaku dan aku pun lega. Sampai tertidur dan kami harus bangun pagi kocar-kacir karena aku kesiangan lagi.

Seperti itulah. Di rumah ini, kami memang nggak punya peraturan. Dan kesiangan adalah rutinitas yang bikin aku selalu histeris dan Rexi yang terbangun mengeluh karena kaget. Dengan tampang dan rambut kusut, dia terdengar menggerutu dari atas tempat tidur selagi aku bersiap-siap pakai baju dan kadang nggak sempat mandi. Rexi juga, begitu aku pamitan setelah cium dahinya dia kembali malas-malasan.

Tapi, hari itu kami sama-sama harus keluar rumah sebelum jam delapan.

***



Dеmіkіаnlаh Artikel [Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 14 (Hal. 73)

Sеkіаnlаh artikel [Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 14 (Hal. 73) kаlі іnі, mudаh-mudаhаn bіѕа mеmbеrі mаnfааt untuk anda ѕеmuа. bаіklаh, ѕаmраі jumра dі postingan artikel lаіnnуа.

Andа ѕеkаrаng mеmbаса artikel [Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 14 (Hal. 73) dеngаn lіnk https://ebookzea.blogspot.com/2020/08/baca-novel-dewasa-love-at-future-past_0.html

0 Response to "[Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 14 (Hal. 73)"

Post a Comment