[Story of My Life] yang Sebenarnya Kalian nggak Perlu Tahu tapi aku Pingin Ngomongin Aja

[Story of My Life] yang Sebenarnya Kalian nggak Perlu Tahu tapi aku Pingin Ngomongin Aja - Hallo ѕаhаbаt Mari Membaca Novel, Pаdа Artikel уаng аndа bаса kali іnі dеngаn judul [Story of My Life] yang Sebenarnya Kalian nggak Perlu Tahu tapi aku Pingin Ngomongin Aja, kаmі tеlаh mempersiapkan аrtіkеl іnі dеngаn bаіk untuk anda bаса dan аmbіl іnfоrmаѕі dіdаlаmnуа. mudаh-mudаhаn isi роѕtіngаn Artikel Catatan Bebas, Artikel Story of My Life, уаng kаmі bagikan іnі dapat аndа pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : [Story of My Life] yang Sebenarnya Kalian nggak Perlu Tahu tapi aku Pingin Ngomongin Aja
link : [Story of My Life] yang Sebenarnya Kalian nggak Perlu Tahu tapi aku Pingin Ngomongin Aja

Baca juga


[Story of My Life] yang Sebenarnya Kalian nggak Perlu Tahu tapi aku Pingin Ngomongin Aja

One thing for sure, tulisan ini aku buat bukan untuk menyalahkan siapa pun. Ini hanya sharing. Dan aku memutuskan untuk cerita di sini, karena sesuai dengan namanya A Blog That No One Have Ever Read, blog ini memang nggak pernah dibaca oleh orang-orang yang pernah mengenal aku secara langsung (banyak yang tahu aku nge-blog, tapi saat diminta link-nya aku nggak pernah mau kasih, hihihih). Jadi nggak apa-apa untuk sedikit terbuka dengan cerita yang sebenarnya harusnya tetep jadi rahasia pribadi. Tapi, sejak ini jaman apa-apa curhat di internet, ya nggak masalah juga kan? Mana tahu bisa membantu orang-orang yang sedang struggle dalam persoalan pribadi mereka.

Ini cerita yang panjang banget dan aku bakal untuk berusaha untuk membuatnya sesingkat-singkatnya. Yang akan aku sampaikan adalah pandangan-pandangan dengan mempertimbangkan dua sisi setelah aku merasa cukup dewasa untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi sama hidupku.

Asal muasal kenapa aku jadi orang yang insecure

Pada dasarnya kepribadian seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan terutama keluarga. Yap, keluarga. Intinya di sini bahwa didikan ortu sangat berperan penting membentuk karakter hingga bahkan masa depan seorang anak. Di keluargaku, aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak yang paling tua perempuan dan yang kedua laki-laki. Oke, aku nggak tahu somehow kenapa seringkali aku ngerasa kalau saudaraku itu nggak kayak saudara-saudara orang lain yang akur, berantemnya ya berantem beranteman aja. Kami dari kecil sering berantem dan berantemnya itu bukan berantem yang biasa. Tapi berantem yang luar biasa parah bahkan setelah dewasa tentu dengan cacian dan makian yang nggak pantes kalau udah ribut.

Berat untuk berterus terang kalau kakakku yang pertama adalah seorang sosok pem-bully dan yang kedua adalah kakak laki-laki kata-katanya yang kasar banget sama aku. Semua di keluargaku abusif. Ya, ayah, ibu, kedua kakakku semuanya abusif, emosional dan sering berkata-kata kasar dan bahkan itu sampai tertinggal di pikiranku sampai saat ini. Berat ya? Iya emang. Oke sampai di sana dulu. Aku tumbuh jadi anak bungsu yang parnoan karena dulunya penyakitan. Jadi ortu sering ngelarang banyak hal dan aku selalu dianggap sebagai anak yang lemah di keluargaku, paling manja, paling nggak bisa apa-apa, pokoknya semua yang jelek ada di aku (dan kata-kata seperti itu masih dilontarkan bahkan sampai aku udah punya anak kayak sekarang)

Aku bukan anak yang pede di sekolah. Dulu, karena berasal dari keluarga yang bisa dibilang kismin, aku agak dikucilin teman-teman. Hampir nggak punya teman sampai SMA. Masa-masa sekolahku bukan masa-masa yang mau aku ingat sebagai hal menyenangkan di masa kecil dan remaja. Malahan itu jadi bagian yang ingin aku hapus dari sejarah hidupku, yah tapi nggak bisa. Jadi aku berkembang jadi anak yang suka cari perhatian dengan bohong (nah, ini adalah penyakit akut yang kebawa sampai aku dewasa, mengarang cerita supaya kelihatan hebat gitu, padahal sebenarnya aku nothing).

Sebenernya aku sih ngerasa kalau aku pinter. Tapi, karena udah bikin banyak masalah di sekolah karena sifat caper yang nggak banget itu, aku menghancurkan momen-momen remaja dengan dimusuhi oleh anak satu kelas. Bayangin, semuanya sebel sama aku bahkan ada satu teman akrab dari SMP ngejauhin aku juga. Aku sulit berdamai dengan masa lalu yang ini karena sampai sekarang masih sering muncul dalam mimpi, mimpi buruk pula di mana aku sering dikucilin dan seolah aku mengulang satu tahun SMA lagi untuk bisa mendapatkan momen remaja yang epik seperti kebanyakan orang. 

Berlanjut ke saat aku lulus sekolah, masih dengan kehidupan pas-pasan yang mengharuskan aku untuk kerja minimal buat diri sendiri dulu. Sedih, pingin kuliah, tapi ortu nggak ada niatan walau sebenarnya sih mereka mampu. Tapi, hidup setelah delapan belas tahun itu nggak segampang yang aku kira. Ibaratnya kalau aku boleh menyesal sekarang nih, aku menyesal ketika umur 19-25 tahun aku nggak mencoba untuk nekat. Maksudnya agak rebel gitu dan bukannya manut-manut aja sama sesuatu yang aku nggak suka dari apa yang diputusin keluargaku.

Hal yang paling aku nggak suka dari masa-masa itu adalah aku masih dilarang untuk melakukan hal yang aku suka. Aku masih terkekang dalam hal pergaulan apalagi pacaran. Sehingga waktu itu aku jadi benci banget sama keluargaku yang memang kalau sudah marah (semuanya, biar ortu atau saudara mengumpat dengan kata-kata kasar) itu sebelum aku jadi orang yang emosian kayak sekarang ya. Dulu aku cenderung diam, nangis dan tertekan lalu mencari pelarian yang salah -pacar yang aku pikir bisa jadi tempat bersandar karena keluargaku yah begitu (susah sih ngomongnya, karena ini keluarga). 

Sialnya aku malah bersandar ke orang yang salah juga --karena si pacar ini juga nggak ada bedanya sama keluargaku yang suka larang ini itu dan yang paling bikin aku merasa tolol kemudian adalah dia sangat abusif. Susah melepaskan diri dari orang ini dan selama itu aku sudah membuang waktu tiga tahun. Aku kerja macam-macam dan sama sekali nggak punya tabungan. Keuanganku masih diatur-atur. Pokoknya apa pun itu aku merasa nggak bebas. Dan aku sudah mulai salah jalan saat itu. Berharap sama orang lain untk mengeluarkan aku dari lingkungan yang toxic itu, tapi nyatanya boys will be boys. Mereka hanya mengambil tanpa mau memberi.

Aku pernah ketemu cowok yang kayaknya bisa menerima aku apa adanya. Semuanya baik-baik aja sebelum aku bawa dia ke rumah dan dia jadi akrab sama semua anggota keluargaku. Sampai si sulung berulah dan cowok ini nggak suka, sejak itu hubungan cowok itu sama keluargaku jadi nggak baik. Karena mungkin ya, ini mungkin, banyak hal negatif di keluargaku yang dia lihat. Mulai dari si sulung yang suka menghasut ortuku dan ngejelek-jelekin dia ke orang-orang. Cowok itu jadi benci sama aku karena aku mulai emosi dan suka ngomong yang enggak-enggak saking takutnya ditinggalin, udah berencana serius loh ini. Di saat dia harusnya ngelamar aku dia malah mutusin hubungan karena nggak tahan sama omongan keluargaku yang jelek-jelek soal itu. Dan si sulung dengan songongnya bilang ke aku 'kalau sama dia, gue nggak restu' Kan aneh. Yang penting itu kan restu orang tua tapi si sulung belagak dia yang punya kuasa. Tapi, itu dia, si sulung menghasut ortuku sampai benci sama ini cowok. Itu adalah perpisahan yang paling nyakitin yang pernah aku alami seumur hidup (pas pacaran ya). Galaunya berbulan-bulan.

Butuh waktu lama buat ortu menyadari kalau sebenarnya nggak ada yang salah sama cowok itu. Dia baik dan jelas hormat sama orang tua, Mama-ku pernah mengakui hal itu. Dia mau sama aku bahkan ketika aku masih tinggal di rumah jelek, dan ninggalin aku ketika keluargaku sedikit naik derajat. Tapi, it was too late. Ada pengakuan juga yang bilang kalau ini memang gara-gara si sulung yang kebiasaann jeleknya adalah kalau orang nggak sependapat sama dia, dia bisa mencak-mencak nggak karuan. Pokoknya dia harus berada di atas. Yang paling nyebelin adalah ortuku sangat mudah dihasut.

Satu hari ketika kehidupan mulai berubah ketika kakak yang paling tua dapat rezeki lebih, ya akhirnya kita punya rumah bagus, aku sempat ngerasain jalan-jalan keluar negeri dan hal-hal asyik lainnya (aku masih pacarans ama cowok yang tadi). Nah, ini bagian yang sampai sekarang masih bikin aku sedih dan miris. Aku terlibat konflik sama si sulung yang notabene udah punya power nih di rumah dan ortu mulai 'takut' sama dia. Konflik ini terjadi karena aku berantem sama salah satu orang yang dipekerjakan si sulung di usahanya tapi semua tahu kalau nih orang nggak bener eh tapi malah dibelain sama kakakku. Ribut-ribut kan. Aku lupa kejadiannya, tapi Papa-ku marah-marah ke aku dan ketika dia emosi --dia....dengan sangat marah meninju jidatku, dan saat itu aku 22 tahun. Bayangin segede gitu aku masih dipukulin dan saat itu aku ngadu ke cowok itu dan aku rasa saat itulah dia merasa harus ngejauhin aku (menurutnya mungkin something wrong with my family dan dia nggak mau berurusan dengan hal itu). Kejadian yang sama juga pernah terjadi saat keluargaku nggak suka pacarku yang abusif (ya dia abusif tapi pernah sampai mohon2 ke keluargaku supaya nggak dipisahin sama aku), aku dipukulin sama kakakku yang laki-laki di bulan Ramadhan (kalo nggak salah aku udah 21 tahun pas kejadian itu). Saat itu mungkin aku ngelawan karena udah muak.

Aku sering menyangkal kalau ada yang salah sama keluargaku. Ya namanya juga keluarga ya kan. Sejelek-jeleknya mereka tetap jadi tempat untuk pulang. Sebenarnya aku nggak mau menyalahkan keluargaku. Sama sekali enggak. Karena banyak juga momen-momen menyenangkan sama mereka di mana kita saling bantu, pernah ketawa bareng juga. Tapi, setelah aku menikah, suamiku kayaknya juga mengalami hal yang dialami cowok yang tadi. Terbukti suamiku sama sekali nggak mau tegur sapa sama si sulung. Nah loh, ini semakin bikin aku tuh galau. Di satu sisi ini suami, ini keluarga. Tapi, setelah aku bisa menarik benang merahnya, cowok itu dan suamiku sebenarnya nggak salah. Memang ada yang nggak beres sama keluargaku. Suamiku tahu banget kalau aku ribut sama si sulung yang bakal kena batunya selalu aku, nggak pernah si sulung, karena menurutnya ortuku takut sama si sulung. Ortuku nggak berpihak sama aku dan bersikap nggak adil sementara mereka pernah bilang ke suamiku, kalau satu-satunya anak yang bisa diandalin itu cuma aku. SAtu-satunya anak yang mikirin perasaan orang tua cuma aku, nah loh. Suamiku jadi keki, karena kenyataannya kalau aku ada masalah sama si sulung, aku nggak dibelain padahal emang dasar si sulungnya biang kerok.

Bad moments tetap tinggal di satu sudut bawah sadar yang mempengaruhi perkembangan mental aku. Itulah kenapa kemudian aku merasa begitu nggak aman dengan diriku. Takut salah, takut diomongin, takut dikata-katain, pokoknya serba takut aja karena keluargaku cukup arogan dengan merasa bahwa mereka itu udah bener banget mengekang, mengatur dan sejenisnya. Padahal enggak. Definetely not. Aku terlambat dewasa dan menjelang itu aku salah jalan. Pokoknya aku pernah berada di saat-saat yang salah dan mereka nggak pernah tahu itu. Mereka cuma anggap aku anak yang cukup baik ketimbang dari sodara yang lain. Tapi, aku merasa terbebani dengan itu, karena aku jelas-jelas orang yang penuh dosa T_T.

Kapan aku merasa bebas?

Ibaratnya keluargaku sudah lebih dulu mematahkan sayapku bahkan sebelum aku belajar terbang karena menurutnya di luar itu nggak aman. Aku pasti bakal hidup baik-baik dalam koridor yang mereka siapin. Tapi, yang ada malah, aku tertekan sama omongan jelak, makian dan cacian kasar, dan hidup dalam pilihan yang terbatas. Dari kecil sudah dicap manja, nggak bisa apa-apa tanpa ortu, lemah, nggak bisa hidup sendiri dan sejenisnya. Yang ada juga malah aku pernah merasa kalau aku ini menjijikan karena kesalahan-kesalahan yang aku lakukan.

Aku merasa bebas when it's too late ^_^. Maksudnya ketika umur udah 27 tahun dan dihadapkan pada pilihan harus cepat menikah, sementara aku baru mau memulai karir yang bagus. Pilihanku ada dua, nggak menikah tapi karir moncer dengan pindah ke hotel yang lebih besar meninggalkan Sumatera Barat yang konyol ini, atau menikah, bekeluarga seperti seharusnya biar nggak diomongin tetangga. Ya, harusnya dulu, kalau nggak dilarang ini atau itu, aku bisa punya karir bagus sejak dini dan nggak kebelet harus nikah di saat karirku mau naik. 

Aku lebih memilih menikah karena nggak mau punya anak bayi kalau umur udah rada tua, kasihan dianya kalau udah besar. Aku tahu pernikahan bakal menghentikan semua impian untuk bisa jadi general manager hotel di usia muda (aku punya peluang itu kalau karir lanjut tapi ngebayangin ngejar karir itu kayak minum air laut, aku merasa, bekeluarga dan menikah adalah tujuan akhir yang pasti). 

Tapi, kehidupan pernikahan itu rumit, ceunah!

Kadang merasa sial, kenapa sih aku nggak pernah mendapatkan pilihan yang lebih baik dalam hidup? Kayak orang-orang. Dan overthinking itu mulai menjadi-jadi. Belum lagi omongan orang, hinaan orang, ngelihat orang dengan sengajanya pamer barang brandednya di depanku. Aku jadi merasa seolah aku ditakdirkan untuk selalu hidup susah. Pokoknya benar-benar overthinking banget sampai stress!

Ini alasan kuat kenapa aku mulai menyendiri. Di mataku orang-orang selain aku hidupnya bahagia. Aku nggak cukup baik. Yang harus aku lakukan adalah menutup diri agar nggak melihat kebahagiaan orang yang bikin aku sakit hati dan iri. Aku nggak punya sesuatu yang bagus untuk ditunjukan ke orang-orang, dan tampil menderita di depan orang hanya bikin orang-orang bilang 'kalau aku nggak bersyukur' dan menjadikan hidup orang yang lebih menderita sebagai pembanding. Kebetulan karena covid19 memang aku lebih banyak di rumah.

Berkat sedikit egois dan masa bodo aku mulai terhindar dari penyakit hati

Sekarang pun juga sebenarnya aku lebih sering menghindari keramaian, walaupun hampir nggak mungkin karena suamiku punya keluarga besar yang beberapa di antaranya cukup nyebelin alias toxic. Dan mereka semua adalah orang-orang yang statusnya sama kayak aku --menantu. Sementara kalau aku perhatiin saudara-saudara suamiku yang mulutnya paling lincah sekali pun nggak toxic ke aku, malahan baik dan perhatian. FYI, iparku yang berantem dulu sama aku, udah nggak toxic lagi sekarang (mungkin setelah dia berhenti berurusan sama si toxic yang ada di rumahku). 

Aku nggak tahu ya, mungkin di mata mereka ada kelakuanku yang nggak pantes sebagai menantu dan menurut mereka mungkin aku tuh nggak sebaik mereka bertingkah di depan mertua seperti mereka.Tapi, ya mungkin itu sentimen mereka aja ke aku karena mungkin I am the only one yang tidak berhijab dan bergaya ala mama-mama muda ^_^. (maklum orang Sumatera Barat kan katanya agamais,  aku termasuk 1% perempuan yang nggak berhijab di sini. dan memang kalau orang agamis di sini, hobinya nge-cap orang yang menurut mereka tidak islami) Kebetulan fisik mendukung, badanku kecil, wajah awet, dan nggak gemuk, jadi masih hobi pake jeans. Aku hobi dandan dan gaya (salah satu cara aku mencintai diri sendiri). Aku nggak punya baju gamis syari dengan hijab lebar-lebar. Menurutku nggak cocok aja di aku yang badannya kecil malah bikin aku kelihatan tua. Aku termasuk orang yang menolak tua walaupun itu pasti. Kenapa aku begitu? Ya, demi suami yang emang masih jelalatan juga sama akun selebgram seksi. Udah aku bilang boys will be boys. Dia nggak suka istrinya gendut dan dandan kayak emak-emak. 

Mertua, sama iparku sendiri nggak pernah komplen tuh soal aku yang gaya beda sendiri kalau lagi ngumpul. Yang aku tahu mereka nggak begitu, tapi di belakang aku itu urusan mereka. Aku nggak terlalu musingin itu lagi sekarang karena kenyataannya kita nggak selalu bisa atau harus menyenangkan hati orang lain, tapi juga nggak boleh ngeselin orang lain. Sekarang aku bener-bener jadi manusia bebas yang mulai berhenti untuk terlalu mikirin pendapat orang soal aku.

Hubungan sama suami? Yah, begitu-begitu aja, tapi nggak lagi jadi masalah. Toh dalam rumah tanggaku, aku cuma penonton. Bagus juga sih. Aku tau beres aja tentang segala sesuatunya dan bisa fokus sama apa yang bikin aku senang. Kalaupun nanti aku diomongin jelek-jelek di belakang, I don't care. Dalam hidupku berlaku hal kayak gini: keluarga sendiri aja kadang-kadang memperlakukan kita nggak baik, apalagi orang lain? Jadi, nggak usah terlalu baper dan menjadikan orang lain patokan untuk harus jadi seperti apa. Toh, mereka cuma omong doang, nggak lebih. Jangan sampai omongan orang yang seiprit bikin kita kehilangan kesempatan untuk bahagiain diri sendiri.

Dan ketika aku nggak peduli lagi sama yang namanya romansa dan sejenisnya, di sanalah aku benar-benar sadar kalau kebahagiaanku nggak lagi ada di tangan suami. Kebahagiaanku yang sebenarnya ada di hobi dan juga anakku. Karena kata orang cinta yang sejati adalah cinta seorang ibu ke anaknya, yang suci tanpa pamrih. Anakku adalah satu-satunya alasan kenapa aku mengambil jalan ini, agar dia nggak hidup di lingkungan yang toxic seperti aku dulu.


Dеmіkіаnlаh Artikel [Story of My Life] yang Sebenarnya Kalian nggak Perlu Tahu tapi aku Pingin Ngomongin Aja

Sеkіаnlаh artikel [Story of My Life] yang Sebenarnya Kalian nggak Perlu Tahu tapi aku Pingin Ngomongin Aja kаlі іnі, mudаh-mudаhаn bіѕа mеmbеrі mаnfааt untuk anda ѕеmuа. bаіklаh, ѕаmраі jumра dі postingan artikel lаіnnуа.

Andа ѕеkаrаng mеmbаса artikel [Story of My Life] yang Sebenarnya Kalian nggak Perlu Tahu tapi aku Pingin Ngomongin Aja dеngаn lіnk https://ebookzea.blogspot.com/2020/07/story-of-my-life-yang-sebenarnya-kalian.html

0 Response to "[Story of My Life] yang Sebenarnya Kalian nggak Perlu Tahu tapi aku Pingin Ngomongin Aja"

Post a Comment