[Story of My Life] Insecure dan Overthinking? Kadang Egois dan Masa Bodo itu Penting! - Hallo ѕаhаbаt
Mari Membaca Novel, Pаdа Artikel уаng аndа bаса kali іnі dеngаn judul [Story of My Life] Insecure dan Overthinking? Kadang Egois dan Masa Bodo itu Penting!, kаmі tеlаh mempersiapkan аrtіkеl іnі dеngаn bаіk untuk anda bаса dan аmbіl іnfоrmаѕі dіdаlаmnуа. mudаh-mudаhаn isi роѕtіngаn
Artikel Catatan Bebas,
Artikel Story of My Life, уаng kаmі bagikan іnі dapat аndа pahami. baiklah, selamat membaca.
Judul :
[Story of My Life] Insecure dan Overthinking? Kadang Egois dan Masa Bodo itu Penting!link :
[Story of My Life] Insecure dan Overthinking? Kadang Egois dan Masa Bodo itu Penting!
Baca juga
[Story of My Life] Insecure dan Overthinking? Kadang Egois dan Masa Bodo itu Penting!
Disclaimer : aku nggak menjustifikasi semua orang. Aku menulis ini hanya berdasarkan pengalaman. Bukan nalar seorang psikolog atau medis, atau expert-expert lainnya. Ini hanya tulisan untuk berbagi saja.
Lepas dari manusia toxic, sekarang malah jadi insecure dan overthinking, piye toh?
Hidup nggak ada damai-damainya kalau gitu? Ya namanya juga hidup ada aja masalahnya. Kata orang-orang agamis atau sok bijak 'hidup lo kurang bersyukur aja kali'. Kalau aku ketemu manusia yang berani ngomong gitu sama orang yang lagi punya masalah 'sok tau lo, anying!. Hahahaha. Perlu kita ingat manteman, penyebab ketidakbahagiaan kita itu sebenarnya sebagian kecil lagi diri sendiri tapi sebagian besar berasal dari orang lain. Lah kok malah nyalahin orang lain?
Hm, ini bukan menyalahkan. Menjadi penyebab bukan berarti menyalahkan. Contoh sederhana misalnya kita beli sesuatu yang kita sukai, entah karena itu harganya murah atau modelnya kita suka (ini berhubungan dengan selera ya, dan masing-masing orang itu nggak sama) terus ada yang menghina selera kita, kita otomatis rada dongkol kan?.
Artinya kita tuh sebenarnya nggak pernah lepas dari yang namanya OMONGAN ORANG (dan kebanyakan itu hal yang negatif, sampai-sampai aku heran dengan manusia jaman now. Omongan kalau nggak menyinggung orang, kayaknya hidupnya nggak lengkap). Ada orang yang bisa cuek nanggapin omongan orang, ada yang langsung baper (yang ini aku rasa jumlahnya lebih banyak, karena kan populasi manusia nyinyir di dunia sudah bertambah sejak adanya sosmed. Mau nggak mau kadang kepikiran juga kan sama omongan orang itu). Dari sinilah kadang-kadang overthinking dan insecure ini mulai meraja lela. Kita takut sama omongan orang dan mau ngapa-ngapain itu kayaknya kudu mikir panjang-panjang dulu, padahal juga nggak perlu segitunya juga kali? Ini hidup kita tapi berasa kayak orang lain yang punya. Tapi, yang namanya merasa nggak aman dan suka kepikiran, hal-hal kecil bisa hampir selalu jadi masalah.
Apalagi kita hidup di zaman instagram yang isinya 90% adalah orang pamer. CMIW. Apa yang kita lihat menimbulkan keinginan yang besar untuk memiliki sesuatu yang orang lain punya dan kita berusaha untuk mewujudkannya. Sebenarnya nggak ada yang salah juga sih selama kita mampu. Tapi, ada sebagian orang yang menjadi overthinking 'why I can't have things like them easily' buat orang-orang yang mungkin nggak mampu. Nah, perasaan kayak gini itu mulai jadi penyakit, iri hati dan dengki.
Pals, kalau kalian udah mengalami yang namanya sirik sama hidup orang lain, kalian berpotensi menjadi orang toxic yang pasti bakal berharap orang yang hidupnya lebih bahagia dari kalian dapat musibah. It's no good. Jadi, kalau kalian udah ketemu tanda-tanda kayak gitu, mending kalian stop dulu main sosmed-nya. Aku udah ngelakuin itu, walaupun sebenernya tujuan awal aku berhenti main sosmed cuma karena nggak mau di-stalking sama orang toxic yang butuh bahan buat nyari kesalahan aku. Tapi, emang sih, aku seringkali iri sama yang bisa pamer foto dengan segala sesuatu yang nggak aku punya dan sulit buat aku dapatkan. Bawaannya selalu deh niatnya yang jelek-jelek ke orang itu.
Coba deh berapa jam sehari yang kalian habisin cuma buat scroll di instagram? Kalau jam-jam itu kita pakai buat sesuatu yang lebih bermanfaat, ngelakuin hobi misalnya atau hal-hal lainnya yang nggak berhubungan sama sosmed misalnya? Pasti kita bakal jadi lebih produktif. Catatan : aku nggak bisa komentar apa-apa kalau memang kalian hobinya main sosmed (selama main sosmed aman buat mental kalian, tanpa perlu iri-irian sama orang lain, you do a good job. Berarti hidup kalian mengandung energi postif. Aku juga pingin!).
Teruntuk yang dipenuhi aura negatif entah karena itu hidup makin berat dan kalian hidup di lingkungan beracun, ya mungkin dengan berhenti main sosmed bisa menyembuhkan diri kalian sendiri. Sedikitnya kalian bisa fokus sama diri sendiri dan apa yang bikin kalian merasa lebih bahagia. Kalau aku pribadi sih, aku lebih senang ketika aku bisa berjam-jam di depan laptop, menulis, blogging dan baca ebook yang aku suka.
Egois dan Masa Bodo itu jadi Penting walaupun kita juga nggak suka kalau berhadapan sama tipe orang kayak gini.
Kita kembali ke kisah hidup aku sedikit ya, dikit aja. Hal-hal yang udah aku jelasin di postingan lain sebelumnya tentang rumah tangga dan dealing with toxic sister seumur hidup adalah salah satu alasan mengapa akhirnya aku menjadi orang yang banyak diam. Pertama-tama karena aku memang nggak ingin jadi ikut-ikutan toxic. Di sisi lain aku hampir selalu down setiap hari. Karena melihat ke depan rasanya masih suram banget, kehidupan yang serba sulit dan toxic marriage. Aku udah kehilangan banyak dalam perjalanan berat sampai ke hari ini dan salah satu yang paling penting dari semua itu adalah keinginan untuk bersosialisasi sense of belonging terhadap pasangan.
Untuk banyak alasan, aku berhenti berharap sama suami dalam hal apa pun. Aku nggak bisa menjabarkan satu per satu apa aja itu, karena ini bakal kedengaran seolah aku seseorang yang banyak menuntut (emang iya sih, namanya juga perempuan, ingin disayang, ingin diperhatiin tapi yang didapetin cuma ampas). Ini satu-satunya hal yang aku tahu dengan memahami sifat suami yang luar biasa cuek dan bisa bersikap innocent setiap saat dia bikin aku sedih. Aku harus melindungi diri dari ketidakpedulian dia dan segala hal dari dia yang nggak aku suka. Dan pertahanan terbaik dari semua itu adalah bersikap masa bodo.
Memang ya, pasti ada aja nih nanti yang bilang aku istri durhaka dan pasti masuk neraka. Buat kalian yang sotoy itu, fucek lah!.
Masa bodo di sini yang aku maksud adalah berusaha untuk nggak terlalu mikirin aja sih sebenarnya. Bukan dalam artian nggak peduli sama suami. Menghindari konflik dengan cara watch it flow aja tanpa harus aku kritik, aku tanyain atau aku larang-larang (selama itu nggak membahayakan dia sendiri. Kadang kalau dianya bandel, ya udah aku biarin aja dia nanggung akibatnya sendiri). Karena kalau kita selalu ambil pusing sama apa yang orang lain kan juga bikin pikiran nggak damai, ujungnya ke mana? Ya kita jadi toxic di mana kita selalu ingin orang lain sesuai dengan kehendak kita. Ya nggak begitu juga kali, Ferguso.
Sejauh apa sikap masa bodo itu bikin aku jadi lebih baik daripada terus mikirin yang nggak perlu dipikirin?
Aku jadi lebih fokus sama kebahagiaan sendiri. Once you stop to put your happiness in someone else's hand, it means that your happiness is in your own hands. Jadi kamu nggak lagi menggantungkan kebahagiaan pada pasangan atau orang lain. Hanya dirimu sendiri yang bisa bikin kamu bahagia. Caranya ya do the things you love and love the things you do. Dari sinillah rasa syukur akan apa yang kita miliki bakal timbul. Di tahap ini, ketika aku berpikir dalam keadaan normal, sebenarnya hidupku nggak parah-parah banget (setelah lepas dari manusia toxic ya). Aku bisa menata ulang semuanya kembali, kayak biasa aku suka mendekor kamar biar dapat suasana baru, it feels like that.
Meski pun ya ada saat sedihnya juga, aku nangis tanpa sebab dan itu ngumpet-ngumpet dari suami. Karena kalau dia lihat, dia tanya dan aku harus jelasin. Dan aku benci setiap harus dijelasin, dia sama sekali nggak menunjukan empati atau simpati (I told you bahwa dia itu super innocent, apalagi kalau yang bikin aku sedih itu berhubungan sama keluarganya. He won't give a shit about it. Dia bakal diam aja. Ya, percuma kan diceritain ke orang yang nggak bisa makes you feel better?) Tapi, jangan salah-salah, nangis ngumpet-ngumpet itu jauh lebih baik. Aku bisa nangis sepuasnya, karena nangis adalah bentuk pelepasan yang aku butuhkan ketika aku bener-bener berada di titik terbawah. And I have to remind you, sejak aku meninggalkan rumah, I'm all alone dan sudah menghindari segala macam bentuk curhat dengan orang lain. Kedengarannya sih nggak sehat ya, apa-apa harus dipendam. Tapi, sejauh itu bikin aku jadi lebih tenang, ya nggak apa-apa juga. Orang-orang punya caranya masing-masing untuk membuat diri mereka lebih baik. Yang aku punya cuma suami yang nggak terlalu peduli dan anak yang menjadikan aku sebagai dunianya. Jadi on the other hands, aku tetap harus kuat demi si kecil yang cantik.
Egois? Hmm... menurutku itu harus kalau kalian termasuk tipe yang suka mikirin orang lain alias terlalu baik.
Kayak lagunya Selena Gomez yang galau setengah mampus gara-gara JB, I need to loose you to love me. I need to hate you to love me. Dalam masalahku, aku adalah tipe yang sangat memikirkan keluarga (terutama ortu) walaupun sebenarnya yah mereka cukup toxic juga sih (aku bakal ceritain dalam postingan yang lain). Semakin kamu dewasa, kalau kamu anak yang baik, pasti deh kamu bakal mikirin ortumu yang nggak bakal lebih muda. One day mereka bakalan rapuh dan mungkin mereka mengharapkan anak mereka buat jagain mereka nanti.Terlebih kalau kamu anak satu-satunya atau kayak aku, sodara yang lain kayaknya nggak bakal peduli lebih dari kamu peduli.
Yap, terus terang aku memang lebih memprioritaskan ortu bahkan setelah menikah, terlebih saat tahu kalau suamiku juga begitu. Udah mulai paham kan kenapa secara emosional kami tuh nggak dekat. Ya menikah sekedar menikah dan nggak paham nikah itu bukan sekedar punya buku nikah dan menghalalkan yang haram. Aku selalu merasa (ini disebabkan karena insecure tadi, aku jadi orang yang nggak percayaan banget sama orang, bahkan termasuk sama suami) takut kalau kenapa-napa nanti aku ditinggalin suami (yang mana itu sering kejadian juga akhirnya) aku pasti bakal balik ke ortu, nggak peduli seberapa besar mereka pernah toxic juga ke aku. Aku akan selalu pulang dan keluarga selalu jadi tempat terakhir untuk pergi. Dan emang pada tahap ini aku merasa begitu sayang sama ortuku, bahkan sama si toxic yang kadang bisa jadi suportif juga (tapi lebih sering toxic-nya sih) terlepas dari kejadian di masa lalu yang seringkali bikin aku masih menyalahkan mereka.
Ortuku juga mengakui kalau di antara bertiga, aku yang paling baik sama ortu karena patuh dan hampir nggak pernah bikin masalah yang bikin ortuku stress (kayak si toxic). Aku selalu pasang badan di depan kalau ortu butuh bantuan. Jadi, memang apa-apa aku selalu prioritasin ortu bahkan di atas suami yang aku pikir suatu saat juga bakal ninggalin aku, karena aku udah baca pertanda itu sejak lama. Jadinya saat ada konflik besar antara aku sama suami, aku ikutin saran mereka untuk pisah. Gimana pun juga yang namanya orang tua, tau anaknya diperlakukan semena-mena juga pasti nggak terima kan. Dan yang namanya juga orang tua, pengalaman hidupnya lebih banyak dan penilaian mereka jauh lebih objektif.
Tapi, begitu aku berantem sama si toxic, semuanya berubah. Aku marah sama ortu karena pada saat itu nggak ngebelain aku dari omongannya si toxic dan malah aku yang kena caci maki. Seharusnya ortu ngebelain aku, karena aku yang posisinya lemah juga dalam keadaan stress karena harus berceral. Sangat nggak adil. Padahal jelas-jelas mereka mengakui kalau bukan karena bacotannya si toxic, masalahku nggak akan separah ini. Sebenarnya sih udah sering juga dulu, kalau berantem sama si toxic, pasti aku yang dimarah-marahin, sementara si toxic ini bebas ngata-ngatain aku.
Ya, inilah yang bikin aku kemudian jadi egois. Berhenti mikirin ortu dengan segala permasalahannya. Bukan karena dendam. Tapi, aku sadar, kalau sebenarnya setelah menikah itu harusnya lebih memprioritaskan rumah tangga sendiri. Makanya kalau dipikir-pikir, aku berantakan sama suami ya karena itu tadi, dianya nggak peduli, aku juga. Dan harusnya aku nggak boleh ikut-ikutan nggak peduli karena dari awal aku emang udah tahu suami tipenya lebih memprioritaskan keluarga asal dan teman-temannya. Harusnya aku yang bertahan apa pun yang terjadi dan bukannya berpegangan sama ortu melulu karena takut dicampakan suami. Kalau gitu dari dulu nggak usah nikah aja sekalian, ya kan?
Merasa bersalah iya, sama ortu, karena aku pergi gitu aja bawa anakku. Tapi, mau gimana juga. Selama ini aku hampir nggak pernah melawan karena aku tahu orang tua satu-satunya tempat kembali dan aku selalu butuh mereka, betapa pun jeleknya mereka. Kali ini terpaksa aku harus berjanji dalam hati, mau aku hidup senang atau susah, mereka nggak akan tahu, aku nggak akan kembali tinggal sama mereka, walaupun secara garis keturunan aku juga berhak tinggal di rumah itu. Semua karena cap si toxic yang bilang kalau aku adalah 'beban orang tua' karena rumah tanggaku selalu bermasalah. Terakhir, ketika aku harus dirawat di RS gara-gara efusi pleura aku sama sekali nggak kasih tahu ortu --dan itupun aku juga dihakimi sama kerabat suamiku yang toxic (I'll talk about it later). Takut nanti ortu khawatir, si toxic malah marah-marah (soalnya cuma dia yang boleh menyiksa ortuku)
Ya, aku merasa menyesal nggak bisa jagain ortuku nantinya. Apalagi si toxic pernah bilang, dia mungkin nggak akan mau ngurusin Papa (karena punya dendam dari kecil). Sementara kakakku yang laki-laki juga tinggalnya di rumah keluarga istrinya dan biasanya kalau di sini, ortu biasanya diurusin sama anak perempuan. Tapi, aku berharap aja sih, suatu saat kehidupanku berubah. Bisa punya rumah sendiri, dan ortu bisa tinggal bareng aku (karena pastinya tinggal bareng sama si toxic, itu mimpi buruk dan karena dia orangnya licik, pastilah dia nggak mau ninggalin rumah keluarga, terlebih rumah itu dia yang bikin. Jadi dia ngerasa punya hak penuh. Dan kalaupun aku tinggal sama dia nanti, siap-siap aja depresi lagi. Makanya aku sering berdoa akhir-akhir ini, sesusah-susah apa pun aku hidupnya jauh dari keluarga, jangan kembalikan aku ke rumah itu. Mending mati, daripada berurusan sama manusia toxic. Jangankan aku, ortuku aja sebenarnya nggak tahan serumah sama dia.
Aku egois. Ya terpaksa. Karena sekarang aku juga orang tua. Dan aku harus memikirkan anakku di atas apa pun. Aku rasa dulu ortuku juga gitu karena mereka juga pasangan yang mandiri.
Love myself enough to love my daughter more
Satu lagi masalah berkurang ketika aku mulai berhenti terlalu memikirkan ortu. Aku rasa kalau cuma untuk survive sehari-hari tanpa bergantung sama si toxic mereka bisa kok. Dan dengan aku pergi dari rumah, otomatis mengurangi beban mereka juga apalagi aku nggak pernah ngadu apa-apa. Aku memang nggak komunikasi lagi sama mereka karena ortuku tipe 'yang cukup tega' juga kadang-kadang, apalagi Mama-ku. Kadang aku merasa terbuang juga sih. Sampai aku malas pulang sebentar buat ngambil barang yang masih ketinggalan. Durhaka? Iya, tapi aku harus ninngalin rumah dan menutup semua keinginan unuk kembali ke mereka. Ortu juga nggak pernah nelepon aku bahkan untuk sekedar nanyain cucunya. Oke, harus aku akui juga kalau sifat arogan ortuku ini bikin aku makin ingin berhenti mikirin mereka. Sedikitnya aku memang termakan sama omongan suami yang bilang kalau ortuku itu sebenarnya nggak peduli sama aku (itu nggak sepenuhnya benar juga sih, tapi kadang kalau ingat betapa egoisnya ortuku sejauh yang aku tahu, memang aku ngerasa begitu juga). Kalau ada masalah aku siap berkorban buat mereka, tapi kalau aku ada masalah sama si toxic, aku yang dikorbanin karena mereka takut sama si toxic.
Menurutku egois sama ortu itu horor sih. Takut kualat. Aku hanya bisa berdoa semoga mereka baik-baik aja selama aku nggak ada dan suatu saat aku bisa ngeluarin mereka dari rumah si toxic.
Hikmahnya dari semua ini adalah aku punya tujuan yang pasti, ngebesarin anak sebaik-baiknya supaya nanti mereka nggak gagal kayak aku. Dan untuk itu semua aku butuh untuk masa bodo sama orang lain dan egois terhadap orang-orang yang aku pikir cuma merongrong hidup aku agar sesuai sama keinginan mereka. Dan begitu aku ninggalin rumah, rasanya lebih bebas aja. Aku punya banyak waktu untuk diri sendiri, tanpa harus dengerin omongan orang yang nggak perlu. Di rumah ortu, kalau aku udah sibuk sendiri, pasti deh disindir-sindir, pokoknya apa pun yang aku lakukan lebih banyak salahnya di mata mereka. Meskipun di lingkungan keluarga suami tetep aja ada yang rada toxic dan banyak bacot. Cuma kebetulan aku orangnya nggak suka ngusik hidup orang lain aja, aku bisa aman dan tentram. Karena aku cukup pede sama diriku yang secara tampilan beda dari mereka, aku nggak terlalu musingin.
Satu hal yang aku suka dari diri aku walaupun aku ini parnoan, panikan, iri-an, emosional, ya aku orang dengan pikiran yang terbuka, nggak suka menghakimi sesuatu secara singkat seperti kebanyakan orang-orang di sekitarku. Aku pendengar yang baik kalau ada yang mau cerita dan aku hampir nggak pernah menyetir mereka untuk harus begini begitu. Karena aku percaya sebagian besar orang yang punya masalah, itu sebenarnya nggak butuh solusi dari kita, dia hanya ingin didengarkan tanpa perlu dihakimi. Aku harap dengan sifat positif yang seperti ini aku bisa membesarkan anakku dengan sebaik-baiknya and won't make the same mistake like my parents did.
Semoga ocehan ini bisa membantu kalian yang punya masalah serupa dan kalau kalian punya cerita, nggak apa-apa juga dishare. Ini blog, bukan sosmed yang kenalan kalian bisa tahu kalau kalian itu sebenernya pingin mengumpat seseorang tapi terpaksa ditahan karena nggak enakan kalau dilihat. Aku punya pengalaman nggak enak juga sih curhat di sosmed terus dibaca sama yg kenal karena merasa very insecure dan overthinking itu. Tapi, kemudian jadi masalah. Sampai aku udah bikin satu akun baru supaya curhatnya lebih bebas, dan ternyata tetep aja manusia toxic kepo dan stalking akun baru yang sama sekali nggak diperuntukan buat mereka itu dan dengan bangganya bilang ke aku 'I know what you did di sosmed, jadi nggak usah belagak gila). Sinting juga ya orang kek gitu?
Tapi sudahlah, untungnya orang-orang di sekitarku mainannya masih instagram, facebook, dan sejenisnya (karena emang hidup mereka tuh suka pamer) sementara aku sudah pindah ke twitter dan di sana jauh lebih inspiratif (walaupun banyak sampah juga). Sebenarnya aku punya akun baru di IG kok, tapi karena emang udah kebiasaan nggak main itu jadi ya punya sekedar punya aja dan itu nggak difollow sama-sama orang yang aku kenal. Aku juga nggak pernah bikin curhatan di sana lagi, bahkan males aja untuk posting sesuatu. No use aja sih rasanya. Dan aku beryukur telah lepas dari jerat sosmed yang negatif ^_^. Buatku blog ini adalah segalanya kalau mau ngomongin soal platform favorit.
Kesimpulan dari cerita sepanjang ini adalah egois dan masa bodo itu cukup diperlukan di jaman now ini. Asal jangan berlebihan. Apa pun yang berlebihan hasilnya nggak akan bagus.
Baiklah, sekian dulu ngocehnya. Aku masih punya bahan ocehan yang lain, karena uneg-unegku belum keluar semua.
Thanks for reading
Dеmіkіаnlаh Artikel [Story of My Life] Insecure dan Overthinking? Kadang Egois dan Masa Bodo itu Penting!
Sеkіаnlаh artikel [Story of My Life] Insecure dan Overthinking? Kadang Egois dan Masa Bodo itu Penting! kаlі іnі, mudаh-mudаhаn bіѕа mеmbеrі mаnfааt untuk anda ѕеmuа. bаіklаh, ѕаmраі jumра dі postingan artikel lаіnnуа.
Andа ѕеkаrаng mеmbаса artikel [Story of My Life] Insecure dan Overthinking? Kadang Egois dan Masa Bodo itu Penting! dеngаn lіnk https://ebookzea.blogspot.com/2020/07/story-of-my-life-insecure-dan.html
0 Response to "[Story of My Life] Insecure dan Overthinking? Kadang Egois dan Masa Bodo itu Penting!"
Post a Comment