[Story of My Life] Pengalaman dengan Efusi Pleura Hingga Harus Dirawat di RS di Tengah Pandemi

[Story of My Life] Pengalaman dengan Efusi Pleura Hingga Harus Dirawat di RS di Tengah Pandemi - Hallo ѕаhаbаt Mari Membaca Novel, Pаdа Artikel уаng аndа bаса kali іnі dеngаn judul [Story of My Life] Pengalaman dengan Efusi Pleura Hingga Harus Dirawat di RS di Tengah Pandemi, kаmі tеlаh mempersiapkan аrtіkеl іnі dеngаn bаіk untuk anda bаса dan аmbіl іnfоrmаѕі dіdаlаmnуа. mudаh-mudаhаn isi роѕtіngаn Artikel Catatan Bebas, Artikel Story of My Life, уаng kаmі bagikan іnі dapat аndа pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : [Story of My Life] Pengalaman dengan Efusi Pleura Hingga Harus Dirawat di RS di Tengah Pandemi
link : [Story of My Life] Pengalaman dengan Efusi Pleura Hingga Harus Dirawat di RS di Tengah Pandemi

Baca juga


[Story of My Life] Pengalaman dengan Efusi Pleura Hingga Harus Dirawat di RS di Tengah Pandemi


Selama beberapa bulan ke depan, semua postingan sudah terjadwal setiap hari, aku bisa melanjutkan novel yang terbengkalai, ataaau nerjemahin buku favorit aku, ataaaau doing nothing all day long malas-malasan, ataaaau main sama anak ataaaaaau apa pun yang bikin hepi. Berhubung aku juga ngurusin banyak hal di luar blogging, (yah walaupun udah jadi pengangguran kelas berat sekarang), aku punya anak kecil yang suka ribet kalau kebanyakan di depan laptop. Untung dah, aku batal jadi single parent, jadi sekarang anakku bisa diurusin Papa-nya juga. Tapi, yang namanya anak tetep aja lebih suka nempelin emaknya ke mana-mana, jadi aku kadang suka nggak fokus. Belum lagi sebulan belakangan aku harus dirawat di RS (sekitaran 17-23 Juli 2020) karena efusi pleura.

Apa sih efusi pleura? 

Itu adalah penumpukan cairan di paru-paru. Kalau dalam kasus aku, itu bukan paru-paru basah / pneumonia karena hasil tes menunjukan nggak ada sesuatu yang ganas seperti virus, bakteri dll dalam cairan yang diambil dari paru-paruku. Nggak ditemukan virus TB juga. Makanya aku nggak tahu persis penyebabnya.

Awal dari penyakit sebenarnya lebih dari sebulan aku ngerasa aneh sama badanku. Pertama, dada sebelah kiri sakit banget tiap narik nafas dan mengira ini paling cuma gara-gara salah posisi tidur. Tapi, setelah sebulan itu, aku tiba-tiba demam, panasnya naik turun, lama kelamaan kepala sakit dan berat, sampai kemudian batu kering sampai dada sakit, dan ujung-unjungnya karena batuk terus jadi nggak bisa ngomong, mulai mual-mual tapi nggak muntah. Seminggu aku menderita banget, di bawa ke klinik dan minum obat sampai habis, sakitnya nggak sembuh juga. Tapi, dokternya udah pesan sih, kalau sakitnya tambah parah mending ke RS aja langsung, karena selain Covid19, demam berdarah juga lagi musim. Mana tahu kena salah satu atau malah dua-duanya. 

Begitu aku masuk IGD dan  di rongent, paru-paru sebelah kiriku nggak kelihatan alias ketutupan sama cairan. Tes darah negatif dari penyakit, tes dahak juga nunjukin kalau itu bukan penyakit yang menular. Cuma paru-paru yang terendam banjir cairan kuning. Nah, di IGD aku dikasih oksigen baru bisa nafas, bisa ngomong normal lagi dan berhenti mual. Dua hari aku harus nafas pake oksigen (seumur-umur baru ini aku kena sakit yang nggak banget dan nafas aja pake oksigen! parno tau nggak sih karena aku jarang banget sakit) sebelum akhirnya cairan itu disedot keluar dan tadaaaa! Ada lebih dari satu liter cairan yang entah datangnya dari mana di paru-paruku. 

Malam pertama di RS, sama sekali nggak bisa tidur. Malam kedua, nangis terus karena inget anak yang harus tinggal sama nenek dan tantenya juga masalah pribadi lainnya yang bikin aku stress (yah namanya juga sakit lumayan parah kan, tapi buat aku itu udah parah banget) Ke kamar mandi aja susah banget karena oksigen harus dilepas dan otomatis jadi sesak lagi. Kalau udah gitu aku suka merengek sambil nangis-nangis. Bener-bener deh, aku stress banget, kadang kepikiran bakal mati karena ini sakit paru-paru cuy (pembunuh ketiga di dunia). Belum lagi dokter spesialis paru nya nggak datang-datang karena aku masuk hari Jumat ketemu Sabtu-Minggu dan pastinya dokter juga butuh libur (apalagi ada yang masuk gugus tugas Covid19 juga kan, pasti sibuk). Tapi, hari keduanya, Minggu, aku udah lebih baik dan bisa nerima kenyataan kalau aku harus sabar nungguin dokter paru-nya sampai hari Senin. Tapi, secara mengejutkan dokter paru-nya muncul jam sepuluh malam dan memutuskan besok cairannya harus disedot. Yah, aku cuma nungguin kepastian yang kayak gitu yang ajaibnya bikin aku lebih tenang dan finally malam itu bisa tidur lama banget, sama sekali nggak bangun sepanjang malam.

Besoknya aku mulai parno lagi, gimana caranya ngeluarin cairan paru-paru ya? Aku ngebayangin dokter bakal pake suntikan gede banget yang pernah aku lihat di TV dipake buat sedot lemak gitu (yang keluar cairan kuning merah-merah, serem ah) terus aku bilang ke suami, gimana ntar kalau sampai mall praktek pas nyedot itu cairan keluar. Kayak berita di TV jaman dulu ada ibu-ibu yang lumpuh total karena malpraktek di rumah sakit. Untungnya suami yang pada dasarnya agak slow respon dan terlalu santuy (bahkan di saat aku udah stress ) itu, bisa bikin aku rada tenang sampai sore akhirnya tiba dan dokter ditemenin seorang perawat datang bawa peralatannya plus sebuah dirigen yang lumayan gede. Aku pikir sih buat apa dirigen segede gitu, emang sebanyak apa sih cairan di dalam paru-paruku.

Oke berikutnya aku dibius sampai nggak ngerasain sakit dan tau -tau dirigen besar tadi udah menampung satu liter cairan yang baru aja disedot keluar dari dalam badanku. Jeng jeng jeng! Aku nggak habis pikir dari mana datangnya. Apa karena tiap hari aku minumnya air dingin terus? Doyan minum es dan minuman-minuman berasa lainnya yang serba dingin? Atau karena akhir-akhir itu aku sering mandi malam-malam? Atau karena aku ketularan dari orang lain pas nemenin suami ke poli paru? Nggak jelas. Dokter spesialis paru bilang hasil tes cairannya dikategorikan sebagai 'non-spesifik' aku orang awam nggak terlalu ngerti. Tapi, kalau denger penjelasannya sih, dia rada bingung juga mau kasih obat apa karena nggak ada virus TB dan virus-virus lainnya yang berhubungan dengan paru-paru. Dia nggak mau ngasih sembarang obat. Penyakitku murni cuma karena penumpukan cairan doang. Makanya kemudian aku udah dibolehin pulang, karena emang rasanya jauh jauh lebih baik setelah cairannya disedot keluar.

Dan sampai akhirnya aku dibolehin pulang dan rawat jalan, di paru-paruku cairan itu masih ada, tapi udah nggak banyak. Hari itu penyedotan terpaksa di stop dokter, karena dadaku udah sakit banget gara-gara paru-parunya mengembang pas cairannya disedot keluar (pake selang yang ditancepin dari punggung di sela-sela tulang rusuk, aku sih ngelihat foto yang diambil suamiku, rada-rada serem gitu) Kayaknya sih nyakitin, tapi kan waktu selangnya dipasang, dibius dulu. Suntikan biusnya nggak sesakit saat perawat nyuntikin obat batuk ke selang infus yang sakiiiit banget begitu masuk ke badan, dan aku trauma banget ngelihat perawat masuk bawa suntikan yang isinya obat batuk belum lagi aku nggak biasa di infus dan kadang perawat yang kurang cekatan malah bikin tanganku sakit karena salah step saat mau nyuntik obat. Sekali aku pernah teriak-teriak karena pergelangan tanganku kayak tersumbat gitu dan sakit banget gara-gara perawatnya salah langkah saat nyuntik obatnya lewat infus. 

Seminggu sejak pulang dari rumah sakit, walaupun kayaknya udah sembuh. Tapi, yang namanya sakit kayak gitu tetep aja aku keseharian belum normal. Biar nggak stress karena penyakit kayak gini nggak bisa sembuh dalam hitungan hari, aku cuma ngelakuin hal yang bikin aku seneng supaya nggak stress. Dan sekarang lagi keranjingan nerjemahin buku. Nggak tahu deh. Berpikir akan sesuatu yang lain bikin kita jadi nggak terlalu fokus ke masalah yang di luar itu.

Kualitas pelayanan RS di tengah pandemi covid19

Aku jadi tertarik buat ngomongin ini karena aku ingin berpesan buat yang bandel dan mengabaikan protokol kesehatan. Aku nggak mau sebutin nama RS-nya kasihan nanti citranya jadi buruk dan aku kena somasi. Lagian saat itu semua komplen sudah tersampaikan dan pihak RS minta agar ini nggak disebarluaskan ke publik. Tapi, aku cuma mau ingatin kalian aja kok, nggak peduli mau sakit apa entah itu Covid19 (amit-amit jangan sampai), pokoknya jangan sampai sakit apalagi masuk RS. 

Kalau sampai masuk RS di tengah pandemi gini, jangan harap pelayanan rumah sakit bakal sama sebelum Covid19 menyerang. Tenaga medis itu pada takut antara nularin ke pasien non-Covid19 karena tiap hari mereka beurusan dengan orang sakit atau takut tertular dari yang sakit. Jadi mereka nggak akan masuk ke kamar rawat kita tiap sebentar. Gimana pun mereka adalah garda terdepan buat yang sakit-sakit. Pelayanan yang biasanya prima, sekarang agak kurang. Banyak yang ngalamin masuk rumah sakit sekarang, harus banyak sabar karena dicuekin. Banyak dokter-dokter spesialis yang sibuk juga, jadi kadang nggak datang dan kadang pasien jadi terabaikan. 
Pokoknya pesan aku, jangan sampai masuk RS di tengah pandemi ini ya. Kalian juga berpotensi kena Covid19 atau penyakit lain.
Waktu aku dirawat, dua hari berturut-turut nggak ada dokter spesialis yang masuk. Shift perawat yang kurang sinkron. Contohnya saat selang infus aku udah mulai sakit, perawat shift sore lepas infusnya. Katanya bakal dipasang lagi malam pas mau suntik obat. Tapi, perawat shift selanjutnya, nggak tahu kalau infus udah dilepas, katanya nggak ada laporan gitu. Jadi dua hari juga aku nggak diinfus setelah cairan disedot. Kebayang nggak tuh pucatnya aku ^_^. Kita juga males ngomong karena emang perawatnya bikin kesal juga karena slow response. Mereka udah bulak balik masuk nganterin obat tapi nggak ada satu pun yang inisiatif mau pasang infus. Ujung-ujungnya alasannya sibuk.

Parahnya perawat juga ember mulutnya (tepatnya di kantin RS, yang kebetulan yang jualan di kantin itu sepupunya suami). Ceritanya waktu itu si perawat ngegosip soal keluarga pasien yang marah-marah karena BPJS sama sepupunya suamiku ini (dia nggak tahu nih mereka sodaraan). Pas suami datang ke sana dan dengerlah si perawat ini ceritain kejadian malam waktu aku masuk.

Jadi malam itu, pas reservasi kamar inap ada satu kejadian yang ngeselin, lagi-lagi masalah sinkronisasi antara petugas di depan dan conter kamar inap di dalam. Aku pasien BPJS kelas I yang sesuai aturannya kan bisa dapat kamar inap yang buat satu orang. Tapi, tiba-tiba ada pasien lain BPJS kelas III yang ngebisikin ke petugas depan supaya dia dikasih kamar yang buat satu orang juga. Sementara ketersediaan kamar inap itu cuma satu. Yang nggak fair adalah pasien BPJS kelas III ini yang dapetin kamar itu tanpa ada diskusi tentang naik kelas, biasanya pasien yang mau naik kelas itu dikenakan biaya tambahan.

Karena nggak mau pusing kita rebutan kamar yang katanya tinggal satu ini, petugas di depan bilang supaya ngomong ke conter kamar inap di dalam tempat aku bakal dirawat. Oke, kita ikutin kan sarannya dan minta kamar buat satu orang di dalam. Dan mereka bilang penuh. Ipar (kakak suami yang pertama) aku yang kebetulan nganter jelas dong mempertanyakan, kok kamar itu dikasih ke pasien BPJS kelas III yang sama sekali nggak deal soal tambahan biaya (langsung dikasih aja gitu). Sementara kita pasien BPJS kelas I dan harusnya lebih berhak dong. Penjelasan mereka itu berbelit-belit soal perbedaan naik kelas sama naik tingkat (apa bedanya coba). Mereka tetap maksain aku harus dirawat di kamar yang isinya dua orang dan besok pagi baru bisa pindah karena ada yang pulang. Sampai salah satunya bilang kalau ternyata si pasien BPJS kelas III ini kenal sama orang dalam. Well, secara institusi ngomong begitu sama sekali nggak etis dong.

Emang kakak iparku rada kesal sama perawat di conter dan one of them juga ember di kantin keesokan harinya. Sayangnya dia cukup sial juga karena pas lagi ngobrol suami datang dan kemudian langsung jelasin kejadian sebenarnya ke sepupunya yang di kantin itu (yang nggak ngeh kalau yang diomongin si perawat tadi adalah sodaranya sendiri). Malangnya, ketika mereka lagi ngobrol, kebetulan ada ibu-ibu yang dengerin dan dia adalah bidan yang pernah jadi kepala ruangan tempat aku dirawat. Plus ada supirnya kepala rumah sakit juga di situ. Mereka tanya ke suami ada apa. Tanpa ada niat jelek, suamiku cerita mulai dari reservasi sampai infus aku yang nggak kunjung dipasang lagi.

Habislah seisi ruangan itu ditegur sama ibu-ibu tadi yang notabene seniornya mereka. Mulai dari permasalahan saat reservasi di mana seharusnya mereka nggak perlu bilang ada orang dalam segala, ada bahasa yang lebih bagus dari istilah orang dalam. Juga masalah infus aku yang dua hari nggak dipasang yang bikin obat suntik nggak bisa masuk (itu sesuatu yang fatal). Nah mereka ditelponin sama ibu-ibu yang kabarnya sih terkenal pemarah dan tegas^_^ Apes dah tuh perawat ember!

Nggak lama kemudian suami dipanggil dan mereka bilang seharusnya dia nggak cerita di luar. Kalau ada komplen harusnya langsung aja ke konter. Ya kali, emang dasarnya mereka aja yang slow response., di komplen pun percuma. Suami jelasin dong kalau dia bukannya sengaja ngobrol di luar. Kebetulan aja dia ketemu sama perawat ember tadi yang ngomong di kantin sama sepupunya dan didenger sama suamiku. Dan kebetulan juga ibu-ibu itu ada di situ dan nanya ketika suami lagi ngejelasin kejadian sebenarnya saat reservasi. Mana suami tahu kalau itu ibu sepuh di sana, orang dia udah pensiun dan datang ke sana cuma buat berobat. Emang dasarnya aja mereka itu apes ^_^

Dari sanalah kita tahu kalau pasien BPJS kelas III itu masih ada hubungan sama karyawan atau apalah, mereka memang diprioritaskan. Kalau malam itu mereka ngomongnya kayak gitu kan enak bahasanya. Tapi, ya emang sih, ada pihak-pihak yang arogan juga. Nggak tahu deh.

Suami sering dirawat di sana dan dulu pelayanannya bagus. Aku juga lahiran di sana dan puas banget sama pelayanan IGD nya yang cepat dan tepat. Tapi, mungkin karena efek pandemi kali ya, perawat banyakan malas karena mungkin takut tertular atau menulari penyakit. Hanya saja, kalau dalam masalah aku kemarin, mereka emang lalai.

Kesel, tapi mau gimana juga. Keadaannya emang sulit juga sih. Makanya di tengah pandemi jangan sampai masuk RS ya. Ribet!


Dеmіkіаnlаh Artikel [Story of My Life] Pengalaman dengan Efusi Pleura Hingga Harus Dirawat di RS di Tengah Pandemi

Sеkіаnlаh artikel [Story of My Life] Pengalaman dengan Efusi Pleura Hingga Harus Dirawat di RS di Tengah Pandemi kаlі іnі, mudаh-mudаhаn bіѕа mеmbеrі mаnfааt untuk anda ѕеmuа. bаіklаh, ѕаmраі jumра dі postingan artikel lаіnnуа.

Andа ѕеkаrаng mеmbаса artikel [Story of My Life] Pengalaman dengan Efusi Pleura Hingga Harus Dirawat di RS di Tengah Pandemi dеngаn lіnk https://ebookzea.blogspot.com/2020/08/story-of-my-life-pengalaman-dengan.html

0 Response to "[Story of My Life] Pengalaman dengan Efusi Pleura Hingga Harus Dirawat di RS di Tengah Pandemi"

Post a Comment