Judul : [Story of My Life] Mencoba Memahami Kenapa Orang-orang Di Sekitarmu jadi Toxic
link : [Story of My Life] Mencoba Memahami Kenapa Orang-orang Di Sekitarmu jadi Toxic
[Story of My Life] Mencoba Memahami Kenapa Orang-orang Di Sekitarmu jadi Toxic
Kenapa sih aku semangat banget membahas soal toxic-toxican ini? Karena sekarang aku merasa sudah terbebas dan ingin aja berbagi dengan orang lain, mengingat jaman now populasi orang toxic sepertinya lebih banyak (apalagi di sosmed, beuh, netizen +62 kan terkenal nyinyirnya ke mana-mana). Jadi aku merasa perlu untuk ceritain pengalamanku karena aku sudah jauh merasa lebih baik sejak meninggalkan rumah di mana orang paling toxic dalam hidupku berada.
Selain itu aku juga ngerasa itu penting aja sebagai salah satu cara ngelepasin uneg-uneg yang masih tertinggal dan nggak bisa aku ungkapkan ke yang bersangkutan. Cari lawan namanya kalau gitu. Lagian akan terkesan kalau aku menghakimi orang tersebut, karena toh anggapan aku tentang dia nggak 100% benar juga kan? Cara yang klasik untuk bisa ngelepasin uneg-uneg, ya ngomongin orang di belakang. Hihihihi. Khusus buat aku adalah cerita di blog karena somehow aku memang muak curhat sama yang namanya manusia, ngomong sama tembok juga nggak mungkin. Nggak semua orang itu pendengar yang baik dan lebih banyak cuma kepo dan nyari bahan gibah.
Aku sudah pernah jelasin lumayan detil tentang siapa orang paling toxic dalam hidup aku. Aku nggak serta merta menyalahkan mereka juga sih atas semua yang buruk yang terjadi ke aku. Karena menyalahkan orang lain bukanlah escape way untuk membuat perasaan kita jauh lebih baik. Sama sekali nggak. Yang membuat kita jauh lebih baik adalah cara kita untuk bisa berhenti menyalahkan orang lain dan memperbaiki diri sendiri setelahnya lalu melakukan hal-hal yang kita sukai (asal jangan ngusik hidup orang lain dan kebanyakan gibah ya. Gibah sesekali perlu tapi jangan over).
Dari yang aku alami selama berhadapan dengan orang toxic parah, aku menarik satu kesimpulan yang hampir pasti penyebab seseorang menjadi toxic ke kita adalah karena kita lemah. Yup. Coba kalau kamu orang yang kuat secara mental, se-toxic apa pun dia nggak akan ngaruh. Malah dia bakal berpikir berulang kali buat gangguin kita. Aku pernah berada di masa ketika si toxic ini nggak berani sama aku. Ya, ketika aku berada di 'posisi' yang lebih dari dia. Paham 'kan? Orang jadi toxic itu bukan hanya karena niat, tapi juga karena ada kesempatan.
Sederhananya kenapa yang bunuh diri adalah orang-orang depresi? Karena orang depresi adalah orang secara mental sangat lemah. Satu serangan kecil aja bikin mentalnya ambruk. Nah, karena itu jangan jadi orang lemah tapi jangan juga jadi orang yang superior. Jadilah manusia yang berguna bagi sesamanya. Kalau kamu nggak bisa membantu seseorang, paling minimal jangan memberinya beban. Itu aja cukup.
Tapi, ya itu tadi, nggak semua orang kuat secara mental. Kayak aku misalnya yang dari kecil sudah menjadi korban orang-orang toxic. Setelah dewasa baru sadar kalau keluargaku sebenarnya toxic dan baru bisa meninggalkan rumah setelah menikah. Haruskah selama itu menunggu untuk bisa lepas? Sebaiknya jangan. Kalau kalian udah tahu kalau sesuatu itu nggak bagus, kalian harus bisa mengatasinya dulu dan pergi adalah tahap akhir yang paling berat dari semuanya dan membutuhkan kesiapan mental. Tapi, aku pernah nyaranin untuk masa bodoh dan egois aja kadang-kadang, biar omongan orang toxic nggak terlalu ngaruh ke kalian.
Jangan sekali-kali jadi toxic juga. Cara yang cukup ampuh juga untuk bisa mengatasi pengaruh orang toxic adalah dengan memahami kenapa dia jadi begitu toxic. Kenapa? Itu adalah tanda bahwa kita bukan orang yang toxic. Walaupun orang itu jahat, kita masih mau memahami kenapa dia jadi kayak gitu ke kita dan dengan begitu kita jadi tahu apa sih hal-hal yang bisa meredam mereka (ini berlaku buat kalian yang hidup dalam keluarga toxic)
Cantik, pinter, pantang menyerah dan gampang disukai orang tapi toxic?
Kakakku dua-duanya toxic. Yang tua paling parah. Hampir semua sifat yang jelek ada di dia. Tapi, sejelek-jeleknya dia aku sangat kagum dengan kegigihan dia bekerja (walaupun dia sering nggak jujur sih) atau mendapatkan apa pun yang dia mau. Obsesif kalau boleh dibilang. Pekerja keras dan pantang menyerah dalam segala hal (termasuk maksain pendapatnya ke orang). Menurutku dia sedikit attention seeker dan suka banget yang namanya drama, bohong dan sebangsanya. Pokoknya kadang sesuatu yang harusnya nggak perlu harus pake bohong, dia bohong, padahal mau beneran atau enggak juga, orang juga nggak peduli kok? Semua orang di rumah nggak mau berurusan sama dia, karena memang tipe orang toxic yang sangat umum adalah suka seenak udel. Diladenin cuma bikin setress.
Physically, dia itu memang cantik --paling cantik di keluargaku. Pernah ikutan Take Me Out juga dulu. Pernah jadi model-modelan gitu di sini. So, kalau untuk pede dia itu memang overpede (kadang cenderung nggak tau malu juga). Dengan semua kelebihan yang ada di dia, dia jadi superior gitu. Pokoknya paling cakep dia, paling pinter dia, paling pinter cari duit dia, paling bener ngurus anak itu dia, paling kerja keras dia, pokoknya menurut dia, dia itu segalanya. Makanya nggak heran dia suka menghina dan merendahkan orang lain. Dia bisa langsung to the point ke orang jauh lebih tua kalau dia nggak suka, bukan tipe yang suka menjaga perasaan orang. Pokoknya sopan santunnya nyaris nggak ada kadang-kadang. Dia tahan banting juga alias di apain sama orang pun kayaknya dia tetep strong (salut deh). Kelemahannya cuma satu yang aku pernah tahu --laki-laki, kalau udah sama cowok, patuhnya minta ampun sama cowok itu, yang lain termasuk keluarga mah kaleng buat dia kalau udah kesengsem sama cowok ^_^ Bucin-nya setengah mati, semua dilawan kalau ada yang gangguin hubungannya sama cowok itu.
Apa pun acara keluarga dia hampir nggak pernah berpartisipasi, sibuk sama urusannya sendiri, bahkan dulu anaknya sering ditinggal-tinggal. Tapi kalau dia yang punya acara, semua orang harus sibuk demi dia, kalau nggak mau sibuk, harus rela dikata-katain. Dari kecil memang doi udah apatis (karena mungkin dia sering dimarahin bokap, jadi dia suka sendiri-sendiri gitu). Kalau ada jalan-jalan keluarga dia pasti nggak mau ikut. Kadang pergi sama cowoknya berhari-hari dengan alasan ada job. Kalaupun dia ikut akhirnya, pasti di jalan juga mencak-mencak karena nggak suka tujuannya ke mana. Bokap emang suka maksain keinginan juga sih kalau jalan-jalan di saat warga yang lain protes nggak mau ke tempat yang dia mau tapi terpaksa nurut juga. Jadi si sulung dan bokap ini dua tipe orang yang sama (suka maksa) tapi nggak pernah cocok satu sama lain, wajahnya pun mirip banget ^_^.
Dia emang punya banyak teman. yang rata-rata nggak tahu sifat aslinya kayak apa. Kemampuan sosialisasinya emang bagus, secara dia kan emang cakep. Orang yang ngelihat dia rata-rata langsung suka aja gitu, dan mungkin ini yang bikin dia itu jadi overpede. Pokoknya dia orang yang gampang banget disukai kalau di luar. Namanya juga 'pernah jadi artis' kan, jadi tahu lah pencitraan diri itu harus kayak apa. Kalau ada yang meninggal dunia, status sosmed nya jadi orang yang paling berduka cita dan kehilangan, tapi nggak pernah datang ke pemakaman ^_^. Kalau ada keluarga yang sakit, jangan harap dia jenguk. Tapi, kalau temannya, pasti dia bela-belain. Emang hobinya drama untuk cari perhatian terutama di sosmed. Kalau kesel suka banget maki-maki dan mencak-mencak di sosmednya, lagi-lagi buat cari perhatian. Terus pasang foto selfie sendiri (nggak pernah pasang foto anaknya, kayak emang anak-anaknya mau disembunyiin). One more thing, di saat udah bersuami dia masih suka ngeladenin orang di dunia maya yang suka sama dia dan cerita mengiba-iba biar dapat duit (duh, jadi ngomongin aib)
What about my brother?
Kakakku laki-laki yang nomor dua lain lagi. Kita nggak terlalu sering berantem. Jarang bicara malah, karena nggak akrab sama sekali, karena cara ngomongnya ke aku itu jarang banget baik-baik. Yang aku ingat dari kecil tuh aku merasa kalau abangku benci banget sama aku nggak tau kenapa. Pokoknya kalau aku ngelihat temen yang punya kakak cowok dan dia bisa manja sama kakak cowoknya, aku jadi iri, karena kakakku sama sekali nggak bisa diajak kompromi. Nggak peduli di depan orang, ngomongnya selalu pakai bahasa kasar.
Asumsiku mungkin karena memang kami dibesarkan pakai kekerasan, yang mana aku adalah anak yang lebih jarang kena pukul karena dari kecil emang sakit-sakitan, kakak-kakakku ngerasa kalau aku lebih disayang dan mereka enggak. Jadinya tuh mereka sebel sama aku. Mungkin hanya itu yang mereka tahu dari orang tuaku, kekerasan dan kata-kata kasar dalam menghadapi situasi apa pun. Dulu waktu aku kecil, kalau ortu udah pergi dua-duanya dan ninggalin aku sama mereka, kelar deh aku. Dibikin nangis, dibilang anak pungut lah, bahkan tanpa sebab yang jelas dikurung di kamar gelap terus sebelum ortu pulang, aku dibujuk supaya nggak ngasih tau apa yang mereka lakuin selama ortu pergi. Aku nggak dendam sih soal ini karena kita pernah ngobrolin ini sambil ketawa-ketawa sebelum ribut-ribut kemarin, gimana seringnya aku sebagai anak bungsu jadi target bully. Tapi walaupun kita anak-anak, itu tetap bisa dijadikan patokan karena emang bawaannya kakak-kakakku cemburu aku jadi anak kesayangan.
Pernah berantem parah sih dan itu selalu gara-gara satu hal : mulutnya kasar dan itu nggak pantas karena dia laki-laki. Sodara laki-laki itu harusnya mengayomi, apalagi kita udah dewasa ya. Tapi, emang abangku orang yang emosional juga (semua di keluargaku nggak ada yang santuy, emosian melulu, gimana aku nggak ikutan?) Gara-gara persoalan sepele pula (ngomongin masalah artis). Dia kesal sama yang sulung tapi pelampiasannya ke aku. Nah ribut kita, sampai nggak tegur sapa lebih dari setahun. Sampai dia nggak ada di nikahan aku.
Aku VS kakak cewek lebih sering terjadi dibandingkan aku VS kakak cowok karena masalahku sama kakak cowok cuma karena aku nggak suka sama cara dia ngomong aja dan udah tahu dia begitu, aku biasa aja seiring berjalannya waktu. Tapi, yang jauh lebih sering terjadi adalah kakak cewek VS kakak cowok, mereka sih lawan yang seimbang kalau dipikir-pikir. Si kakak cewek pernah sampai nangis karena omongan si kakak cowok. Ya emang dulu si kakak cewek waktu masih sama suami yang pertama banyakan kejamnya (bawaan suami polisi arogan kali ya) dan si kakak cowok itu sering banget dituduh yang enggak-enggak. Walaupun kakak cowokku begitu, dia orangnya lurus dan jujur, nggak macem-macem, nggak pernah mainin cewek. Pernah dia dituduh maling dan ngelariin motor sampai mau dilapor polisi segala sama si kakak cewek dan lakinya. Gimana tuh perasaan ortu? Campur aduk!
Setelah cerai agak berubah, tapi toxic-nya masih belum hilang. Sedangkan abangku setelah menikah dia banyak berubah. Nggak kayak si sulung yang ngikutin jalan ninja ortu kami yang abusif ke anaknya, abangku enggak. Dia punya anak cewek cantik banget yang dia beri nama Shafina yang artinya lembut. Dia mau anaknya jadi anak yang lemah lembut dan kalau aku perhatiin dia emang lembut banget sama anaknya walaupun dia sering marahin istrinya ^_^ tapi dia seorang suami yang tanggungjawab banget sama keluarga, nggak kayak suamiku T_T.
What makes them toxic?
Seperti yang aku bilang sebelumnya, pengaruh keluarga itu penting. Aku pernah cerita kalau ortuku abusif --dua-duanya tapi Papa paling parah. Dikit-dikit main tangan, main hempas. Aku pernah dipukulin sampai terkencing-kencing (masih kecil, lupa umur berapa). Satu hal yang aku tahu pasti, si sulung ini adalah anak yang paling sering dan banyak menerima perlakuan abusif dari ortuku. Hmm... nggak mengherankan sih dia besar jadinya kayak gitu. Dia juga jahat ke kakakku yang nomor dua. Mungkin dalam pikirannya, karena dia sering dipukulin, dia nggak lebih disayang dari adek-adeknya. Aku rasa itu yang bikin dia dendam kesumat sama aku sampai kita dewasa --ortuku lebih sayang ke aku.
Gimana nggak sayang? Aku anaknya manut-manut wae, nggak pernah bikin masalah yang bikin ortu malu dan stress. Kenapa aku manut? Ya, aku nggak mau jadi kayak dia yang rebel dan jahat. Dibalik semua sikap manut itu aku sebenarnya menderita T_T dan mereka nggak tahu.
Ortuku sebenarnya orang tua yang mandiri. Didikannya keras tapi cenderung egois dan nggak berperasaan. Ada banyak kata-kata mereka yang masih membekas sampai sekarang dan bikin aku berjanji dalam hati 'kalau aku jadi orang tua nanti, I won't say those words to my kids'. Aku nggak bisa bilang kata-katanya kayak apa, tapi itu seperti umpatan dengan bahasa binatang yang menyatakan kalau mereka tuh nyesal membesarkan anak-anak kayak kami (yang menurut mereka itu bandel). Seringkali juga ngomong 'kamu dari kecil dibesarin, udah besar ngelawan' Kalau seandainya saat itu bisa ngejawab, kami juga nggak mau dilahirin kalau tahu harus hidup kayak gini, nggak tau deh tuh marahnya kayak apa. Bisa dibunuh mungkin.
Ketika aku punya anak, aku jadi menyayangkan ucapan ortuku yang nyakitin itu karena aku tahu beginilah rasanya begitu menginginkan seorang anak. Anak itu ibarat kertas putih, dan orang tua pelukisnya. Kalau ada yang salah sama anaknya, berarti ada yang salah sama didikan ortunya. Seorang anak nggak pernah minta lahir ke dunia, orang tua yang menginginkan mereka dan seharusnya mereka nggak perlu mempermasalahkan apa yang mereka berikan. Seolah anak itu harus balas jasa sama orang tuanya.
Mamaku sebenarnya orang yang lembut, tapi mungkin karena dia terpengaruh sama Papa yang memang latar belakangnya keras --dari cara ngomongnya aja udah ketahuan kalau dia pemarah. Suaranya keras dan yang jelas waktu kecil aku takut banget sama dia. Banyak yang takut juga karena tampilannya serem. Karena memang mereka pasangan mandiri, jelas Mamaku menggantungkan semuanya ke Papaku. Nggak heran, sikap dia sering dipengaruhi sama Papa. Makanya kadang kalau Papa marah entah itu karena apa jangan harap bakalan dibela. Yang ada kalau dengar Mamaku teriak dikit aja, Papa langsung datang dan siap menghajar.
Omongan Mama juga banyak yang sadis sih kalau diingat. Dia bisa tega juga. Terlebih dia ikut aliran agama tertentu gitu. Tahulah kalau pengikut tarikat, alirannya orang lain salah. Terlalu membangga-banggakan tarikatnya yang menurutku sih nggak ada bedanya sama pengikut ajaran agama lain yang berusaha mempertahankan eksistensi. Menganggap mereka itu keturunan paling mulia dan sebagainya. Aku juga sempat ikutan tapi setelah cukup dewasa, I'm out. Karena aku nggak tahan dengan cara mereka memandang orang-orang yang tidak sealiran (justru seolah 'menjauhkan' orang-orang yang punya hubungan darah hanya karena nggak sealiran. Rasanya agama yang ngajarin kayak gitu sesat deh)
Makanya begitu aku ninggalin rumah, Mama-ku seolah nggak peduli. Menurut dia karena aku keluar dari tarikatnya, kita tuh udah beda jalan. Di nikahan aku aja dia duduk di luar karena kata pemimpinnya dia seharusnya nggak menghadiri acara nikahan orang yang nggak satu tarikat sekalipun itu anaknya. (sinting sih menurutku). Pokoknya karena tarikatnya itu aku ngerasa agak punya jarak sama Mama-ku sejak aku keluar. Pernah waktu aku pisah, mama ngajakin lagi untuk kembali tapi aku nggak mau. Aturannya aja menurutku udah nggak bener. Oh ya Mama ku nggak bakalan bisa lepas, satu keturunan dia sealiran semua dan kalau mereka udah ngumpul, aku duduknya agak jauhan. Pembahasan mereka itu nggak terlalu bisa diterima sama otakku yang universal --semua agama itu sama, kalau nggak sama kenapa Tuhan menciptakan perbedaan? Aku lebih menganut teori kemanusiaan sih. Nggak peduli kalau kamu taat agama, tapi kerjamu nyakitin dan merugikan orang lain juga nggak ada gunanya. Kalau itu benar, yang ditanyain di akhirat itu amal ibadah, bukan tarikatmu apa dan bukan karena kamu merasa tarikatmu paling benar, auto-masuk-surga.
Si sulung sebenarnya juga dikekang kok. Tapi, memang dasarnya dia rebel ya itu malah bikin dia sering dipukulin. Pokoknya banyak sekali masalah yang dia bikin, dari kecil sampai dia punya anak. Pokoknya ortuku selalu jadi bemper kalau dia udah bikin kasus. Dia juga termasuk orang yang suka ngomong kasar ke aku kalau aku nggak mau turutin maunya dia. Orangnya bossy gitu, sampai sekarang. Ya, karena dia merasa punya power di rumah, makanya dia kayak balas dendam gitu terutama sama Papa. Makanya dia nggak segan-segan ngelawan dan ortu juga jadi takut karena nggak bisa ke mana-mana dan harus stuck dengan dia.
Aku yang mungkin nggak lebih banyak mendapatkan kekerasan dibandingkan kedua kakakku aja udah segitu stress-nya. Apalagi mereka kan? Di sini aku bisa berdamai dengan ke-toxic-an itu. Jadi di titik inilah aku paham kalau yang salah bukan lagi mereka yang memang hidup dalam lingkaran toxic yang diciptakan sama ortu yang abusif. Yang salah adalah aku yang udah tahu itu nggak bagus, aku bertahan dengan mereka di saat aku sebenarnya punya pilihan lain: ikut sama suami seperti seharusnya terlepas dari apa pun kesulitan yang kami alami di awal-awal menikah.
Perilaku abusif memang ngefek banget ke anak. Cara orang tua ngomong juga bisa nular ke anak. Jadi ngerti 'kan kenapa kedua saudaraku jadi demikian toxic. Aku sebenarnya juga toxic. Aku emosional dan memang kalau sudah marah, sering juga ngomong nyakitin (itu biasanya ke saudaraku di saat aku sudah emosi) Tapi sebagian konflik yang terjadi sama aku dan saudara, hampir bukan aku yang mulai. Aku bukan tipe yang suka cari masalah (karena aku tahu kalau ada keributan, nggak akan ada seorang pun yang bakal belain aku. Ortuku sepertinya takut sama 'hasil karya mereka sendiri' yaitu kedua kakakku yang lebih toxic dan kalau sudah ribut sama mereka, harapan hidup nggak akan tentram).
Aku pernah ribut sama mamaku soal tarikatnya itu, dan gimana nggak adilnya dia ke aku hanya karena aku nggak mau lagi ikutan tarikatnya. Sementara dia mengamini semua yang dilakukan abangku salah atau benar, karena hanya dia yang ikut sama mamaku. Sementara si sulung, abu-abu.
Makin ke sini aja, makin kelihatan kalau ortuku mulai tertekan. Tapi selalu it was too late, ketika mereka sadar bahwa seharusnya dulu mereka nggak abusif atau bilang hal-hal yang sekarang bikin mereka gigit jari. Mamaku kayaknya udah sadar, bahwa dia melakukan kesalahan dan sering mengingatkan Papaku agar berhenti mengungkit-ungkit cara mereka membesarkan kami, karena anak nggak pernah minta dilahirkan. Tapi, sekali lagi, it was too late. Kami terlanjur jadi saudara yang toxic satu sama lain. Aku juga toxic ke rumah tanggaku sendiri karena aku juga jadi orang yang pemarah dan suka ngamuk, dan untungnya aku udah berhenti.
Kalau abangku kayaknya udah berubah drastis. Meskipun kalau marah mulutnya juga masih kasar. Tapi, nggak pernah lagi ke aku, dia sering kesal sama si sulung. Sejak kita baikan beberapa tahun lalu, kita nggak pernah ribut lagi. Dia sangat suportif sama aku dan sepertinya karena tinggal di rumah istrinya, dia juga udah keluar dari lingkaran toxic itu tanpa dia sadari. Mungkin dia pernah merasa terbuang waktu dia berantem sama si sulung lama banget di mana dia tinggal dan sering numpang sama orang lain dan itu bikin dia jadi pekerja keras.
Kalau diperhatikan sih, kakakku menurunkan ke-toxic-an itu juga ke anak-anaknya. Dia abusif juga sama anaknya terutama yang nomor dua itu sering banget dipukulin karena sering bohong (persis kayak emaknya). Sementara anaknya yang paling tua itu nggak ada bedanya juga sama dia, apatis dan nggak pedulian sama sekitar. Jahat juga sih ke adek-adeknya kalau aku perhatiin. Kalau misalnya aku tetap tinggal serumah bareng dia, mungkin anakku juga bakal kena imbas. Karena anak-anak paling mudah meniru. Sama seperti orang tuaku yang dua-duanya emosional dan ngomong kasar, kami semua jadi ikutan seperti itu.
Setelah aku memahami semua itu, aku pun berani untuk mengambil keputusan ini. Melepaskan diri dari keluargaku. Bukan memutus tali silaturahmi juga. Kadang menjauh itu diperlukan ketika kita membutuhkan jarak untuk diri sendiri, agar merasa aman terlebih dari keluarga yang toxic. Tapi, aku selalu berdoa agar aku nggak kualat. Karena mau nggak mau ini harus dilakukan, aku udah punya keluarga sendiri.
Curhat kali ini kayaknya agak mengiba-iba ya. Tapi, aku mulai lega bisa menjabarkannya satu per satu kayak gini. Ada kepuasan batin ketika aku berhasil mengungkapkan apa yang ada di kepalaku karena cerita ke orang bukan cara yang tepat terlebih setelah semua yang aku lalui.
Oke sekian postingan curhat kali ini, thanks for reading. Semoga kalian selalu dikelilingi orang-orang dengan aura positif.
Dеmіkіаnlаh Artikel [Story of My Life] Mencoba Memahami Kenapa Orang-orang Di Sekitarmu jadi Toxic
Sеkіаnlаh artikel [Story of My Life] Mencoba Memahami Kenapa Orang-orang Di Sekitarmu jadi Toxic kаlі іnі, mudаh-mudаhаn bіѕа mеmbеrі mаnfааt untuk anda ѕеmuа. bаіklаh, ѕаmраі jumра dі postingan artikel lаіnnуа.
Andа ѕеkаrаng mеmbаса artikel [Story of My Life] Mencoba Memahami Kenapa Orang-orang Di Sekitarmu jadi Toxic dеngаn lіnk https://ebookzea.blogspot.com/2020/08/story-of-my-life-mencoba-memahami.html
0 Response to "[Story of My Life] Mencoba Memahami Kenapa Orang-orang Di Sekitarmu jadi Toxic"
Post a Comment