Judul : [Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 13 (Hal. 70)
link : [Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 13 (Hal. 70)
[Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 13 (Hal. 70)
Gangguan. Entah kenapa, gue mulai merasa ada yang mengganggu. Bukan berarti, gue nggak nikmatin saat-saat gue lagi sama Gladys. Gue berusaha jadi pacar yang baik, buat seorang cewek yang perhatian sama gue dan berhenti meragukan dia. Bukannya dulu gue suka dia setengah mati? So, nggak ada alasan untuk merasa nggak bahagia.
“Tadi aku nelpon Pak Moldy, katanya udah tiga kali kamu batalin janji konsultasi,” kata Gladys. “Kamu kenapa nggak bilang sih sama aku?”
“Aku cuma nggak sempat aja kok…,” jawab gue, tetap serius nyetir dan gue lagi males ngomong. Karena otak gue terus mikirin semuanya lagi.
“Nggak sempat, kamu bilang?” dia kedengaran protes. “Padahal hampir tiap hari kita ketemu! Kamu jemput aku atau kita jalan bareng, tapi kamu nggak pernah bilang apa-apa sama aku!”
Gue jadi pusing deh. Jawaban ngasal gue kayaknya nggak bertanggung jawab banget tapi ya ngapain juga ketemu Pak Moldy? Dia nggak bisa nolong gue, karena seks itu bukan bidangnya dia. Dan gue mulai capek, mengeluh soal hubungan itu terus-terusan, secara gue belum menikah. Gue nggak sedang berusaha mempertahankan hubungan rumah tangga, tapi hanya hubungan pacaran, yang harusnya diisi dengan pemahaman, pengertian dan penyesuaian. Gue nggak mungkin dong telpon Dr. Boyke buat ngatasin masalah itu. Karena…karena itu nggak ada hubungannya. Gue normal, Gladys juga normal. Tapi, sampai sejauh ini, gue ngerasa kalau sebenarnya ada yang salah dalam diri gue.
“Fer?” Gladys mulai teriak dan gue jadi nggak konsen. “Kamu mulai belajar bohong? Kalau kamu nggak ketemu sama Pak Moldy, kamu ke mana aja? Kamu jalan sama cewek lain?!”
Jderr! Petir menggelegar dalam kepala gue. Gue dicurigain? Dan begonya, gue malah diam, seolah kelihatan kalau gue nyembunyiin sesuatu. Indra keenam gue membaca, kalau berantemnya dilanjutin, kita bakal ancur-ancuran dan putus. Gue nggak ingin itu terjadi. Gladys itu udah cocok buat gue, ya kan? Dulu gue ngejar-ngejar dia setengah mati, nggak mungkin dong gue ngelepasin dia?
Gue kepaksa berhenti di pinggir, untuk klarifikasi. Bikin dia tenang sedikit, supaya bisa ngejelasin semuanya dengan benar. “Aku nggak jalan sama cewek lain kok,” jawab gue, tenang, setenang mungkin, supaya dia nggak menemukan kekhawatiran gue bahwa sebenarnya, gue sering jalan bareng sama Adjani. Walaupun kita nggak ada hubungan apa-apa, tapi tetap aja, Gladys bakal nganggap itu sebagai KESALAHAN kalau dia sempat curiga. Jadi, gue berusaha ngelunakin gigi daripada lidah. “Jadwal kuliah padat banget. Kamu tahu bentar lagi ujian semester, jadi aku lagi konsen belajar,”
Bener kata orang, butuh lebih banyak kebohongan lainnya untuk nutupin satu kebohongan. Gue nggak bisa serius lagi di kelas. Kayaknya gue berontak banget sama hal-hal yang harus gue lakuin tapi gue nggak suka ngelakuinnya. Terpaksa, gue ketemu Pak Moldy karena kali ini, Gladys sengaja ngantar gue dan mastiin kalau hari ini gue konsul. Dia sampai rela minta izin dari kantor buat nemenin gue.
***
“Kamu pasien yang paling bandel,” kata Pak Moldy, suara tawanya yang reot kedengaran ngejek, tapi gue harus tetap duduk untuk bicara. “Jadi, kamu duduk di sini, atas kemauan diri sendiri atau… paksaan dari pacar kamu yang menunggu di luar?”
“Bapak tahu sendiri jawabannya,” kata gue dan Bapak itu terkekeh.
“Di sana bukan kursi hukuman, Ferre,” kata dia. “Kenapa kamu seperti buronan yang kabur lalu kembali ditangkap dan dipaksa untuk duduk di sana lagi,”
Gue mendongak sedikit. “Ibarat tahanan, Pak…,” jawab gue serius. “Saya nggak bersalah, makanya saya kabur. Dan untuk masalah duduk di sini, saya ngerasa cukup beres walaupun….”
“Walaupun apa?” tanya Pak Moldy, ikut serius.
“Sebenarnya saya dikirim ke sini karena saya ngalamin gangguan sama halusinasi yang berlebihan,” jelas gue, berusa meluruskan supaya ini nggak menjadi lebih lama. Gue mau pulang dan besok-besok nggak mau balik ke sini lagi. Jadi gue harus meyakinkan Pak Moldy kalau yang gue alamin bukan seperti yang Gladys kira. “Ya, memang halusinasi dan itu masih belum jadi masalah kecuali untuk….”
“Vntuk?” Pak Moldy menyambung dengan tanda tanya pada ujung katanya.
“Saya punya masa lalu yang buruk, Pak,” gue memulai sebuah pengakuan. “Bapak udah tahu itu dan saya udah ikutin saran Bapak untuk berdamai sama masa lalu saya. Tapi, sebenarnya ini bukan lagi soal masa lalu saya yang berantakan, tapi soal masa lalu orang lain yang sering saya lihat sama mata saya….”
“Maksud kamu?”
“Ya, halusinasi itu bukan dengan seseorang yang saya kenal. Saya yakin, kalau itu bukan seseorang yang pernah ada di masa lalu saya, tapi masa lalu orang lain,”
Pak Moldy pun diam, mendengarkan dengan perhatian penuh.
“Mata saya ini bukan mata saya lagi,” jelas gue. “Seseorang mendonorkan matanya ke saya karena saya buta selama hampir setahun. Saya rasa sejak itu saya mulai ngelihat cewek itu….”
“Jadi kamu melihat seorang perempuan asing?”
Gue ngangguk. “Hanya sekilas. Tapi sering…,” jawab gue. “Di beberapa tempat yang kayaknya familiar padahal saya belum pernah ke sana… atau saat saya berdua sama pacar saya….”
“Ada banyak hal dalam gejala psikologis yang nggak bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan,” kata Pak Moldy, setelah ia melepas kaca matanya dan menatap gue makin serius. “Kerasukan, atau skizofrenia yang akut. Yang semuanya berhubungan dengan bawah sadar seseorang. Apa kamu pernah melakukan sesuatu yang nggak biasa kamu lakukan karena melihat sesuatu yang ganjil itu?”
Gue menggeleng. “Saya…kadang-kadang, karena penasaran, saya malah mengejarnya….”
“Itu halusinasi, Ferre,” katanya. “Semua halusinasi yang terjadi pada setiap orang punya pemicunya. Bisa jadi trauma di masa lalu….”
“Saya rasa itu nggak ada hubungannya sama masa lalu saya lagi,” potong gue.
“Halusinasi menyebabkan seseorang memiliki delusi, yaitu keyakinan yang salah terhadap sesuatu,” kata Pak Moldy lagi. “Apa kamu yakin?”
“Saya rasa… saya baik-baik aja, Pak…,” kata gue, tertunduk dan otak gue kembali berpikir keras. “Ini nggak ada hubungannya sama gejala psikologis….”
“Kenapa kamu pikir begitu?”
“Karena mata ini…,” jawab gue dan Pak Moldy terdiam cukup lama.
“Ya, kalau kamu merasa nggak membutuhkan seorang psikiater membantu kamu, kamu boleh melakukannya dengan cara kamu. Dari awal, sejak kamu datang ke sini saya merasa nggak ada masalah dengan kamu,” kata Pak Moldy. “Kamu hanya nggak mengenali diri kamu sendiri sehingga kamu enggan mencari tahu tentang kenapa kamu merasakan hal yang nggak wajar. Saya sarankan, kamu mencari tahu penyebabnya sendiri. Karena selain kamu sendiri nggak ada orang lain yang mengenali diri kamu,”
Yah, seorang psikiater aja udah nolak gue, jelas konsultasi itu cuma buang-buang waktu, buang-buang duit. Setelah ini gue harus berusaha meyakinkan Gladys kalau gue nggak butuh psikiater lagi.
***
Dеmіkіаnlаh Artikel [Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 13 (Hal. 70)
Andа ѕеkаrаng mеmbаса artikel [Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 13 (Hal. 70) dеngаn lіnk https://ebookzea.blogspot.com/2020/07/baca-novel-dewasa-love-at-future-past_92.html
0 Response to "[Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 13 (Hal. 70)"
Post a Comment