Judul : [Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 13 (Hal. 71)
link : [Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 13 (Hal. 71)
[Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 13 (Hal. 71)
Bukan pertama kali gue ngerasa kehilangan arah. Kata orang, setiap manusia punya fase hidup. Gue pikir fase yang paling sulit buat gue nggak akan terjadi selama gue berusaha menjalani hidup gue dengan cara yang baik tapi sebenarnya gue cuma menjalani hidup gue atas kehendak orang-orang. Dan begitu apa yang pernah gue lakian mulai bertentangan sama perasaan gue, di situlah, gue kembali ke fase yang sulit itu lagi.
Gue pandangin gitar yang tergeletak di jok belakang. Gitar butut jelek yang harganya dua ratus ribu yang gue ambil dari seorang pengamen jalanan –body-nya penuh ditempelin stiker. Udah berhari-hari gitar itu di sana dan akhirnya gue bawa turun. Di kamar, gue kembali memeluk gitar itu. Mencoba beberapa nada yang gue suka tapi kayaknya ada yang kurang pas. Gue mulai sibuk menyetel senar yang agak kendur atau terlalu kencang. Dan tiba-tiba saat gue, termenung ditemenin sama gitar itu, jadi ingat Adjani dan kata-katanya. Hanya gue yang bisa memutuskan ke mana gue akan pergi.
Gue pergi ke kampus sesuai jadwal walaupun agak malas-malasan. Dan pagi-pagi banget gue memaksa diri untuk tetap datang. Paling nggak walaupun temen-temen gue udah nggak ada masih ada Adjani.
“Jadi…sekarang masalah kamu bukan lagi soal pacar kamu itu?” Adjani kelihatan ngejekin gue lagi dan gue makin jadi malu aja.
Gue ngangguk dengan sedikit malu, rasanya hampir semua masalah dalam hidup gue cewek ini tahu. “Yah, untuk sementara ini nggak…,” jawab gue.
“Sementara? Apa kamu sedang nunggu bom waktu?”
Gue ngangkat bahu. “Hidup gue rumit,” kata gue, ngelirik dia sebentar sebelum perhatian gue kembali ke jalan. Dan rasanya nongkrong di pinggir jalan itu sesuatu banget kalau bersama Adjani, karena mungkin orang-orang lewat mengira kita lagi ngitungin mobil lewat. “Dulu. Jaman-jaman masih ABG,”
Adjani tertawa jenaka.
“Walaupun semua orang bisa aja ngelakuin kesalahan, tapi kadang ada kesalahan yang nggak bisa dimaafin….”
“Hmm…contohnya?”
Gue tersenyum hampa. “Lo percaya nggak kalau misalnya gue bilang kalau dulu gue sempat jadi orang buta?” tanya gue tiba-tiba dan dia membelalak, kayaknya nggak percaya. Gue ketawa pelan. “Yah, itu berbulan-bulan dan seringkali gue coba bunuh diri,”
“Kamu buta?” tanya dia. “Karena suatu kejadian?”
“Ya…kejadian traumatis gitu. Tapi, sekarang udah nggak lagi,”
Adjani kelihatan ngangguk-ngangguk.
“Sejak gue terima donor mata dari orang lain gue mulai ngelihat yang aneh-aneh. Gue kan udah pernah cerita sama lo alasan kenapa cewek gue nyuruh gue ke psikiater..” jelas gue. “Ternyata hal-hal kayak gitu nggak bisa disembuhin sama psikiater….”
Adjani diam dan mulai kelihatan serius mendengar.
“Gue nggak tahu mulainya dari mana. Tapi, kayaknya gue harus nyari tahu siapa orang yang donorin matanya ke gue. Karena mungkin semua hal yang gue sebut sebagai halusinasi itu mungkin hal-hal yang pernah orang itu lihat. Bukan hanya cewek itu. Tapi, juga beberapa keadaan asing tapi rasanya akrab banget,” jelas gue, berusaha mengurai kerumitan di kepala gue yang rasanya mau meledak setiap gue mikirin semuanya. “Pertama di SMA Nusa Bhakti yang gue ceritain pernah lihat lukisan Dewa yang kita nemu di pameran itu. Sebenarnya gue datang ke sana karena kebetulan, adek cewek gue punya acara pensi, dan kebetulan juga dia ikut pertunjukan drama yang judulnya Coppelia. Kebetulan yang benar-benar aneh kan? Lukisan Dewa dan Coppelia itu dibuat oleh Ellody. Gue ngerasa aneh seolah gue tahu sesuatu soal lukisan-lukisan itu, seperti gimana lukisan itu dibuat, rasanya pernah ngelihat di mimpi tapi nggak tahu kapan. Masih banyak hal-hal lain yang gue lihat dan kebanyakan nggak bisa gue ingat lagi, dalam mimpi, tapi mungkin semua itu dulu pernah nyata,”
Adjani masih diam. Tapi, sekarang cara diamnya itu beda. Seolah dia ikut mikirin apa yang gue pikirin sekarang.
“Hei,” tegur gue, karena malah dia yang kelihatan bingung sekarang. “Gue kebanyakan ngomong sampai lo nggak ngerti maksud gue apa ya?”
Dia tersenyum sambil menggeleng.
“Atau lo pikir gue benar-benar sinting?” gue tertawa, mencoba membaca ekspresi Adjani yang nggak biasa.
“Jadi…kamu sudah cari tahu?” tanya dia, kelihatan ingin tahu sekali.
Gue tersenyum. “Cari tahu pun, apa gunanya…,” kata gue.
Orang yang donorin matanya ke gue pasti udah meninggal dan… setelah gue tahu pun, apa yang bisa gue lakuin? Kayaknya…ini adalah bagian dari hidup gue yang sekarang yang udah nggak bisa dipisahin lagi. Kayak seseorang dengan masa lalunya, karena apa yang gue lihat itu udah banyak mempengaruhi hidup gue…kecuali… kalau gue kembali jadi buta, mungkin semua itu baru hilang…dan kalau gue terima donor lagi, entah… masa lalu siapa lagi yang bisa gue lihat. Kalau dipikir-pikir ke belakang, gue nyesal… terlalu banyak orang yang menderita gara-gara gue dan sekarang gue harus terima semua keanehan itu menjadi bagian dari hidup gue. Sampai sekarang, gue masih hidup, menanggung semua itu seperti sebuah hukuman.
Kapan gue bisa kembali hidup dengan tenang? Gue pikir begitu gue ketemu dengan yang namanya cinta sejati, semua itu bisa hilang dengan sendirinya.
***
“Tumben lo nyamperin gue ke kantor,” Erick surprise banget saat nyamperin gue di ruang tunggu setelah hampir setengah jam gue nungguin dia selesai meeting.
“Yah, gue nggak tahu harus pergi ke mana lagi, Bro.” kata gue, agak lemes.
“Cewek lo?” tanya dia.
“Kerja…,” jawab gue, dan gue sama sekali nggak ingin ngomongin soal Gladys dulu.
Erick ngangguk-ngangguk dan kayaknya paham banget kalau gue lagi galau. Ya, akhirnya gue galau juga. Galau bukan karena masalah cewek. Tapi, saat ini, gue bener-bener yakin lebih butuh Erick daripada ketemu Gladys. Setiap gue ketemu Gladys sejak gue nggak harus ketemu Pak Moldy lagi, dia selalu bilang gue harus lupain itu. Gue harus bisa menganggapnya nggak penting. Dan gue harus fokus dengan hal lain yang gue suka, untuk mengalihkan perhatian. Padahal ini nggak sama kayak ngalamin gejala stress, percaya nggak percaya soal takhayul, kayaknya penglihatan gue ini terasa mistis. Gue bisa melihat apa yang pernah dilihat sama orang mati!
“Jadi apa yang bikin lo rela nunggu daritadi selain karena lo kurang kerjaan?” tanya Erick, kedengaran ngejek lagi.
Kita baru duduk di cafeteria kantor yang ada di lantai bawah.
“Lo nggak bilang Mama gue ke sini kan?” tanya gue dulu, sebelum tiba-tiba Mama muncul dan nemuin kita di sini. Bisa berabe kalau Mama tahu apa yang sedang kita omongin.
Erick menggeleng. “Lagian kalau Mama tahu apa salahnya sih?” celetuk dia. “Mungkin dia bakal senang ngelihat lo datang. Yah, lo kan nggak pernah mau datang ke sini… kayak… lo nggak mau berurusan dengan segala sesuatu yang ada di sini..”
“Rick…,” tegur gue, ngingetin dia, kalau gue ke sini juga bukan lihat-lihat tempat di mana nanti gue bakal menghabiskan sisa hidup gue setelah lulus kuliah –jadi bagian dari perusahaan.
Erick terkekeh. “Oke, oke!” putus dia. “Dalam rangka apa lo nyari gue? Curhat soal cewek lo enggak, lihat-lihat perusahaan juga nggak, jadi….”
“Gue mau nanya sesuatu sama lo.” kata gue. “Tapi, lo jangan parno dulu deh,”
Ekspresi Erick memang berubah, dia menatap gue terpana beberapa saat, kayak kaget gitu.
“Siapa yang donorin matanya ke gue, Rick?” tanya gue akhirnya, menatap dia lekat-lekat.
“Kenapa lo baru nanyain itu sekarang?” balas dia.
“Karena dulu gue nggak merasa terganggu. Tapi, sekarang….”
“Terganggu kenapa?”
Gue menghela nafas. “Lo harus janji sama gue, apapun yang gue bilang lo harus percaya sama gue. Karena selain sama lo, sama siapa lagi gue bisa cerita dan…sebagai abang gue lo tahu banyak tentang semua yang nggak bisa gue lihat waktu gue buta….”
Raut Erick makin tegang. Dia mandangin gue, tanpa pertanyaan atau tanggapan untuk sementara. Kelihatan menunggu, apa yang selanjutnya mau gue bilang.
“Gue ngelihat hal-hal yang aneh yang jelas nggak pernah ada hubungannya sama gue. Seorang cewek atau suasana asing yang sebelumnya nggak pernah gue hadapin. Semua itu kadang-kadang muncul di mimpi gue…,” jelas gue, berharap bahwa penjelasan gue bisa dia mengerti, walaupun mungkin susunan kata-kata gue kacau dan bikin dia mengernyit,” Gue cuma ingin tahu, karena gue sadar nggak ada yang bisa gue lakuin soal itu. Gue nggak bisa berhenti ngelihat bayangan-bayangan itu karena gue nggak bisa bikin itu berhenti mempengaruhi gue….”
Erick masih kelihatan bingung. Tapi, dia tampak siap dengan jawabannya. “Yang donorin matanya ke elo itu Rexi,” kata dia, pelan-pelan. “Dan Rexi itu adiknya Audrey, tunangan gue. Rexi memang sudah meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan. Dan dia punya istri, namanya Ellody. Mungkin kalau emang benar lo ngerasa ngelihat seorang cewek itu mungkin istrinya sendiri,”
Kaget, bingung dan heran, jadi satu di dada gue, yang tadi sempat nyaris berhenti berdetak. “Ellody?” gue sebutin nama itu dengan jelas. “Ellody yang pelukis itu?”
“Lo kenal dia?” tanya Erick.
“Gue pernah lihat lukisannya…,” jawab gue, masih berpikir. “Semuanya jadi masuk akal sekarang….”
Erick diam, gantian menunggu siapa yang sekarang ingin tahu.
“Mereka sama-sama meninggal dalam kecelakaan dua tahun lalu…,” kata gue merinding, mengingat selama ini gue udah melihat hantu dan tiba-tiba jadi parno. Pantesan lukisan dewa yang ada di sekolah itu disebut serem, karena pelukisnya udah meninggal. Dan pantas juga gue ngerasa aneh dengan lukisan-lukisan lain di pameran itu.
“Siapa yang bilang Ellody meninggal?” tanya Erick tiba-tiba dan gue terperangah. “Ellody masih hidup. Mereka memang kecelakaan di mobil yang sama tapi Ellody dan anak mereka selamat. Yah…memang sih dia lebih suka dianggap mati. Sejak Rexi nggak ada dia mulai menutup diri. Berhenti melukis. Dan gue juga kurang tahu apa yang dia lakuin sekarang selain ngurusin anaknya. Dia…nggak pernah lagi muncul di mana pun,”
“Lo tau di mana dia sekarang?” tanya gue, seperti melihat sebuah harapan akhir dari terrorwajah dan bayangan hantu yang selama ini ngikutin gue.
“Gue nggak yakin dia mau ketemu seseorang kali ini. Karena kalau lo ngomongin Rexi di depan dia, dia nggak akan suka,” kata Erick ngingetin dengan serius.
“Kapan terakhir kali lo ketemu dia?”
“Waktu kawinan temennya, seminggu yang lalu,”
“Ja…jadi lo akrab banget sama Ellody?”
Erick ngangguk-ngangguk. “Lumayan…,” jawabnya. “Audrey memang care banget sama Ellody. Karena itu, gue saranin, lo jangan temuin dia buat ngomongin masalah ini. Dia bakal ngusir lo, itu pasti, karena udah jelas dia bakal mikir kalau lo sinting,”
“Tapi, gue harus ketemu, Rick,” desak gue. “Lo nggak tahu gimana rasanya dua tahun, sejak gue pikir gue bisa hidup normal dengan ngelihat lagi, ternyata karena gue ngerasain yang aneh-aneh semuanya jadi berantakan lagi. Lo sadar nggak sih, karena itu Gladys nyuruh gue ke psikiater karena dia pikir gue ngalamin gangguan psikologis? Tapi enggak, Rick. Itu bukan gangguan psikologis. Itu sesuatu yang….”
“Gue ngerti, Fer,” potong Erick, menghela nafas. “Gue ngerti, oke? Sekarang tenang,”
Gue pun diam. Tapi, tetap nggak sabar seperti anak kecil yang merengek minta dibeliin permen ke abangnya.
“Ini jelas-jelas sesuatu yang nggak bisa dipahami pake logika. Gue ngerti,” kata dia, tegas, meminta gue tetap tenang dan berhenti merengek. “Lo mungkin nggak tahu karena lo buta. Sumpah, Fer, gue nggak habis pikir. Entah kebetulan atau gimana, gue, Audrey, Ellody atau Rexi sendiri nggak pernah tahu bakal kayak gini. Tapi, gue jadi ingat saat sebelum Rexi kecelakaan….”
Gue menajamkan pendengaran gue, berharap itu sesuatu yang berharga dan ingat apa yang pernah terlewatkan saat matahari gue terbenam dulu.
“Lo pernah ketemu Rexi, Ras…,” kata dia. “Dia datang ke rumah sakit juga karena waktu itu kebetulan Audrey minta diantar. Tapi, mungkin lo nggak ingat lagi….”
Terlalu banyak orang yang datang saat itu. Terlalu banyak suara yang gue dengar sedang ngomongin keadaan gue yang menyedihkan. Tapi, nggak satu pun dari mereka yang gue kenali lagi karena gue nggak bisa lihat wajah mereka. Semuanya gelap, dan suara-suara mereka itu bikin gue serasa ada di neraka. Sehingga gue nggak suka dijenguk. Setiap ada yang datang, gue bakal teriak, mengusir mereka semua.
“Rexi berempati sama keadaan lo.” kata Erick lagi, tertunduk. “Mungkin saat itu dia juga nggak tahu setelah itu dia bakal kecelakaan dan berpesan supaya matanya didonorkan ke elo, Ras….”
Gue kembali terdiam, mencoba mengingat dan mengingat semua yang nggak ingin gue ingat lagi. Tapi, percuma…gue juga nggak tahu wajahnya seperti apa. Dan…tiba-tiba, wajah di lukisan dewa itu muncul di kepala gue. Dewa itu adalah Rexi. Ya, Ellody melukis Rexi, karena dia cinta.
“Takdir lo aneh, Ras…,” komentar Erick, dan wajahnya muram.
Kepingan jigsaw puzzle dalam kepala gue hampir utuh. Tapi, gue nggak tahu, apa setelah itu utuh, masalah gue terselesaikan. Yang jelas, keingintahuan gue begitu dalam. Tentang Lukisan Dewa, Coppelia dan Ellody yang melukisnya. Gue nggak mengerti takdir mana yang Erick sebut aneh. Mungkin saja, saat gue ketemu Gladys dan gue ngikutin dia ke mana pun sampai gue menginjakan kaki di sekolah tempat pertama kali gue ngelihat lukisan itu. Semua ini dimulai dari sana. Ya, semua ini sudah direncanakandalam takdir itu sendiri. Dan sekarang, gue hanya ingin tahu, ke mana semua ini bakal membawa gue?
Apa begitu gue berhasil, melihat Ellody dalam wujud nyata semua bayangan itu bakal hilang?
Dеmіkіаnlаh Artikel [Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 13 (Hal. 71)
Andа ѕеkаrаng mеmbаса artikel [Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 13 (Hal. 71) dеngаn lіnk https://ebookzea.blogspot.com/2020/07/baca-novel-dewasa-love-at-future-past_30.html
0 Response to "[Baca Novel Dewasa] Love at the Future Past Ch. 13 (Hal. 71)"
Post a Comment