[Story of My Life] Me VS Toxic Peoples, Hilang Satu Tumbuh Seribu? What a Life!

[Story of My Life] Me VS Toxic Peoples, Hilang Satu Tumbuh Seribu? What a Life! - Hallo ѕаhаbаt Mari Membaca Novel, Pаdа Artikel уаng аndа bаса kali іnі dеngаn judul [Story of My Life] Me VS Toxic Peoples, Hilang Satu Tumbuh Seribu? What a Life!, kаmі tеlаh mempersiapkan аrtіkеl іnі dеngаn bаіk untuk anda bаса dan аmbіl іnfоrmаѕі dіdаlаmnуа. mudаh-mudаhаn isi роѕtіngаn Artikel Catatan Bebas, Artikel Story of My Life, уаng kаmі bagikan іnі dapat аndа pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : [Story of My Life] Me VS Toxic Peoples, Hilang Satu Tumbuh Seribu? What a Life!
link : [Story of My Life] Me VS Toxic Peoples, Hilang Satu Tumbuh Seribu? What a Life!

Baca juga


[Story of My Life] Me VS Toxic Peoples, Hilang Satu Tumbuh Seribu? What a Life!

Satu hal yang bikin aku jadi pingin ngoceh di blog secara tiba-tiba kayak gini adalah kadang rasanya kalau nggak diungkapkan, kayaknya bikin aku jadi mumet sendiri gitu kan ya. Soalnya, belakangan aku mulai jadi orang yang menghindari curhat dengan orang lain termasuk orang terdekat even pasangan, karena perasaan insecure tadi. Banyak hal yang nggak berjalan sesuai harapan hingga pada satu titik aku merasa telah menjadi orang yang gagal. Beberapa bulan ke belakang dan mungkin ke depan adalah masa-masa yang sulit buat aku.

Nah apa hubungannya sama orang-orang toxic tadi?

Well, sejak kecil aku sudah hidup di dalam keluarga yang toxic. Kenapa aku berani bilang gini (walaupun sedikit merasa bersalah karena toh ini keluargaku juga)? Ya, aku sudah cukup dewasa untuk memahami apa yang salah dengan kehidupan yang aku jalani hingga aku merasa bahwa aku orang yang gagal dalam segala hal. Aku sudah membaca banyak artikel tentang keluarga toxic dan hal-hal yang berhubungan dengan itu. Dan menyadari latar belakang orang tua dan bagaimana kemudian didikan mereka di mana turunan semua itu adalah hubungan aku dengan kedua saudara yang lain yang bisa dibilang 'berbeda dari kebanyakan dan seharusnya', bikin aku berani untuk mengkategorikan kalau keluargaku memang toxic. Tapi, mungkin aku bakal ceritain story of my life di postingan yang lain.

Sekarang, kita fokus ke cara menghadapi si toxic yang nyebelin dan pingin kamu kubur di rawa-rawa rasanya.

Siapa sih manusia toxic yang paling nyebelin dalam hidup aku?

Sedikit berbagi pengalaman, aku baru aja 'selamat' dari masalah klasik dari rumah tangga di mana sebelumnya aku menceritakan situasi ke orang yang aku pikir bakal mengerti, tapi it turns out bad karena orang yang aku anggap dekat ini salah terima dengan tujuan aku berterus terang akan masalah yang aku hadapi. Atau mungkin karena sebenarnya aku mengungkapkan hal yang salah ke orang yang salah bisa jadi.  Dan secara nggak langsung orang ini, yang notabene, adalah iparku menjadi toxic ke aku padaha awalnya nggak (harus aku akui dan pernah aku bilang ke suami, keluargamu aja memperlakukan aku jauh lebih baik dari kamu sendiri). Bagian ini memang murni kesalahan aku sendiri.

Yah, buat aku waktu itu ini namanya udah jatuh ketiban tangga pula. Udah punya kakak cewek yang toxic, ipar pun jadi toxic juga. Dan kedua orang ini 'bersekutu' alias berdiskusi soal aku dan masalahku yang mana waktu aku baca skrinsyut-nya, itu bener-bener sangat jahat dan mengintimidasi, parahnya menghakimi serta sangat menyudutkan aku (baik dari si ipar maupun yang di aku). Padahal... ya itu nggak sepantasnya mereka lakukan. Sudah banyak fakta berbicara yang bahkan juga diakui si ipar 'something wrong with my husband'. Tapi, yang namanya toxic ketemu toxic, ya nyambung 'kan jadinya? Apalagi keduanya ini memang kalau aku lihat sukaaaa banget ngobrol, mau tau urusan orang lain, ngomentarin hidup orang lain dan ngebanding-bandingin hidupnya sama hidup orang lain (dalam kasus ini orang lainnya adalah aku).

Harusnya sesalah-salahnya aku saudara juga harusnya membela aku di hadapan 'lawan' ya nggak sih? Urusan dia marah karena aku yang salah ya nggak usah diumbar ke lawan, ya kan? Sementara si ipar pastilah belain saudaranya. Waktu itu sih dia bilang nggak nge-bela, tapi omongannya nyalahin aku terus. Nah, dua manusia yang merasa benar ini mau jadi jubir secara sukarela walaupun sebenarnya baik dari aku dan suami juga nggak suka mereka itu ngobrol-ngobrol. Ortu dan kakakku yang satunya lagi juga nggak suka sama kelakuannya si sulung, tapi yang namanya orang toxic emang nggak bisa dibilangin. Ya iyalah, namanya juga dua orang yang suka ngobrol, klop lah.

Buntut dari 'diskusi' nggak penting mereka itu adalah keributan antara aku sama si ipar. Aku udah wanti sama suami supaya kakaknya berhenti cerita sama si toxic yang ada di rumahku. Nggak ada yang nyuruh dia jadi jubir, mending diam karena toh aku sedang berusaha menenangkan diri. Suami juga beranggapan kalau yang satu ini emang toxic banget, sampai-sampai emang dia nggak mau tegur sapa sama kakakku itu, seumur hidup pula katanya nggak mau, parah kan?. Dan juga suamiku kabarnya juga sering nggak tegur sapa sama kakaknya itu kalau lagi marah dan kayaknya mereka juga nggak cocok. Klop kan mereka? Hampir sama-sama jadi tipe pantangan buat suami.

Karena di mana pun kalau masalah sudah sampai di tangan orang toxic, yang ada malah tambah parah alih-alih niatnya si toxic pingin ngebantuin biar masalah selesai. Tapi dasar tipe orang toxic, maunya harus selalu diturutin, pendapatnya harus selalu benar buat orang lain, kalau enggak marah-marah, padahal sih ikut campurnya dia itu sebenarnya cuma untuk memenuhi hasrat dia yang suka ngomongin orang aja. Kenyataannya kalau seseorang itu emang bener-bener peduli sama orang, dia nggak akan jadi racun!

Ya nggak tahulah ya, enaknya ngomongin masalah aku itu di mana, mereka nggak mau berhenti. Padahal aku udah ribut, emosi banget, sampai aku tuh kayak orang gila. Aku sengaja diam supaya masalah nggak berlarut-larut dan itu susah banget loh. Berhubung ini masalah sama suami ya aku tahulah, apa yang harusnya dilakukan sampai semuanya mereda. Entah mau balik atau beneran pisah nantinya yang penting harus tenang dulu (karena saat itu aku percaya, kalau aku ngomong baik-baik sama suami, masalah pasti selesai). Tapi, jadi susah ngomong baik-baik, karena sama ipar udah ribut duluan karena aku bilang terang-rterangan nggak suka kalau dia nge chat si toxic di rumahku. 

Kayak menetralisir masalah supaya nggak berlarut-larut, supaya keluargaku juga nggak terlalu tersakiti dengan apa yg diperbuat suami dan kakaknya ke aku, eh tahu-tahu ya gitu deh, karena manusia toxic mau jadi pahlawan dan mau dianggap bener sama orang lain menyelamatkan rumah tanggaku, yang ada, karena persekutuan toxic ini, keluargaku kesal, keluarga dia juga kesel karena dapat bocoran nggak bener dari manusia toxic.

Sejak itu aku diam sediam-diamnya, menutup diri dan hanya ngomongin perasaan pribadi ke ibuku --satu-satunya orang yang pastinya bakal bikin aku adem but in fact, it's not. Si toxic nggak seneng hidupnya kalau nggak ngasih komentar pedas dan cenderung menyalahkan aku atas permasalahan yang aku alami .Kadang bawa-bawa orang tuaku sebagai penyebab kenapa rumah tanggaku berantakan sehingga ibuku jadi males ngeladenin aku. Manusia toxic ini seolah menyalahkan ortuku juga dan beliau nggak mau dibilang ikut memisahkan (padahal sebenarnya apa pun keputusan yang aku ambil saat itu soal ruma tanggaku, aku sendiri yang mau nggak dipaksa sama siapa pun). 

Oke, delapan bulan yang berat ini aku jalani dengan yah penuh kesedihan yang bikin aku mendekati depresi. Ketika akhirnya aku nggak tahan sama si toxic yang kelakuannya kayak setan ini dan berantem, aku lempar dia pake gelas, mujur dia nggak kena. Pokoknya kalau aku ingat kejadian itu sampai sekarang aku masih kesel. Setiap berantem sama si toxic, aku nggak pernah sebenci ini sama dia. Namanya juga sodara, berantem baikan lagi dan selama ini baik-baik aja kalau aku pintar-pintar nggak menyinggung hidupnya sekali pun seringkali perlakuannya ke aku atau bahkan ortuku kadang sadis. Aku cuma sering nyeritain dia di belakang sama ortu juga saudara cowokku karena emang nih orang sering nggak sadar diri, tapi nggak pernah ngejelekin dia ke orang lain.

Tapi, mungkin aja untuk semua yang pernah dia lakuin ke aku dari aku kecil sampai dewasa, ini yang paling nyakitin, dia berperan besar menghancurkan keluargaku atas dasar ngebantuin, tapi nyatanya dia malah bikin tambah parah. Aku jadi ingat dulu dia pernah bikin aku putus sama pacar yang lama sampai aku tuh juga stress selama berbulan-bulan (ya ini bukan perkara jodoh nggak jodoh sih, tapi kan caranya itu lho nggak enak banget).

Ujung-ujungnya apa? Doi berkata seolah-olah dia itu peduli tapi kata-katanya yang paling nyakitin yang bikin aku berbalik 180 derajat adalah 'setiap aku punya masalah sama suami, terus aku pulang ke rumah, minta orang tuaku jemput, terus tinggal sama mereka itu dia bilang menyusahkan orang tua. Besok-besok aku nggak boleh lagi ngelibatin orang tua. Lah? ini bagian yang aneh. Dari awal konflik, aku tuh nggak pernah ya jadiin ortuku bemper buat ngadapin suami. Ortuku bahkan nggak pernah negur suamiku karena mereka nggak pernah mau ikut campur urusan aku. 

Seluruh dunia tahu kalaupun di keluargaku ada yang paling bikin ortuku tertekan adalah dia sendiri (namanya orang toxic pasti nggak sadar kalau dia toxic. Banyak banget aibnya yang sebenernya pingin aku ceritain, tapi ya udahlah. Aku sendiri juga punya aib kok. Aku nggak seratus persen lebih baik dari dia juga, tapi minimal aku tuh nggak suka ngusik hidup orang lain). Yang bikin aku sakit hati adalah kenapa aku nggak boleh 'pulang' ke ortu di saat punya masalah dan malah dibilang nyusahin? Kayaknya nggak adil banget. Ketika aku cerita ke temenku yang kenal banget sama aku dan keluargaku, dia ketawa dan bilang 'lucu banget kakak lo? kayak dia paling baik sedunia aja'.

Sampai akhirnya aku membuat keputusan yang besar dalam hidupku. Balikan ke suami yang udah gugat cerai aku di pengadilan tapi kemudian dia cabut lagi karena aku nggak mau cerai. Namun, setelah itu kita nggak langsung balikan walaupun sebenarnya kita bisa kembali sama-sama lebih cepat. Kalau bukan karena iparku masih mencecar aku di pengadilan agama soal kenapa waktu aku ketemu sama mertua aku nggak mau tegur sapa, sampai nangis-nangis segala yang sebenernya itu harusnya aku, aku lho yang harusnya nangis. Sudah dicerai, nggak punya apa-apa, anakku juga jadi korban. 

Kenapa aku nggak mau nyapa mertuaku? Ya iyalah, aku digugat cerai dengan masalah sepele dan si mertua ini bersedia menjadi saksi anaknya menceraikan aku. Yang bikin aku kesal adalah seolah dia nggak mau tahu perbuatan anaknya ke aku dan bukannya reconcile sama anaknya (demi anakku yang masih delapan bulan dan dia sendiri juga menyadari kesalahan anaknya sama aku itu banyak) dia dengan entengnya mau jadi saksi di pengadilan seolah aku dicerai karena aku selingkuh atau lebih parah dari itu. Sedih, kesal, dan marah. Aku sama sekali nggak mau nengok ke mertuaku saat itu, which is kemudian dijadikan masalah baru bagi si ipar saat dia 'mencecar' aku lagi.

Karena aku juga punya keluarga, aku ceritain deh itu sama ortuku, persayaratan dari dia buat balikan yang jelas ditolak orang tuaku (nggak worth-it lah buat laki-laki kayak gitu, kata mereka). Dan mereka dengan tegas melarang untuk kembali. Nggak peduli mau gugatannya dicabut. Ortu beranggapan keluarga suamiku juga mulai keterlaluan. Ya, balik pun juga pasti semuanya nggak akan sama lagi. Jadi sejak itu aku diam lagi. Aku menghindar, benar-benar berpikir untuk pisah aja yang mana kemudian langsung goyah saat aku akhirnya berantem sama si toxic.

Aku pernah bilang ke ibuku kalau aku sempat berantem sama si toxic ini, aku nggak akan betah tinggal bareng sama dia dan mau nggak mau jalan satu-satunya yang harus aku ambil ya balik ke suami. Makanya aku nggak mau ribut-ribut terus sama dia dan delapan bulan itu bersabar sama omongannya, sikap superiornya, dan harus diam ketika dia lagi-lagi nyakitin ortuku. Aku harus pura-pura bahagia hanya supaya dia itu nggak komentar nyakitin soal aku. Mana tahu jalan masih panjang. Bercerai itu nggak sama dengan putus pacaran apalagi udah punya anak. Tapi yang namanya manusia ada batas sabarnya, hari itu aku meledak. Udah seharusnya sih, biar dia tahu, kalau bukan karena bacotannya ke iparku aku nggak bakalan berantem sama iparku dan masalahnya jadi tambah besar. Tapi, si toxic binatang ini, malah ngeluarin kata-kata binatangnya juga. Dengan mantap setelah insiden lempar gelas aku bilang ke ortu aku balik aja (hanya supaya nggak perlu berurusan sama si toxic ini seumur hidup).

FYI, karena aku orang Minang yang menganut matrilinial jadi anak perempuan punya hak menempati rumah yang diwarisi turun temurun. Biasanya perempuan yang udah menikah bawa suaminya juga tinggal di rumah itu. Makanya kami tinggal serumah.

Aku tahu ortu kecewa sama keputusanku. Tapi, ya gimana juga. Mereka nggak cukup mampu untuk membiayai aku sama anak sampai aku bisa kerja lagi --dan ini musim corona, ya dapat kerjaan pasti susah. Aku nggak kuat dibiayai sama si toxic, tapi harus rela disakitin sama omongannya dan hidupku diacak-acak sama dia. Nggak tahu deh, semua yang aku rencanain berbalik arah. Dan di sinilah aku mulai membuat perubahan besar-besaran, baik dari cara berpikir dan bersikap dan hingga kemudian berusaha bertahan dalam 'toxic marriage'. Banyak hal dalam hidup aku toxic ya?


Setelah menjauhi si toxic

Hidup sama orang toxic selama itu pastilah meninggalkan bekas alias trauma. Apalagi si toxic ini juga orang yang sangat dekat sama aku. Kita pernah akrab, bareng, dan saling bantu juga. Cuma karena dia superior, anak sulung, maunya harus selalu diturutin, sedikitnya dia selalu mempengaruhi caraku memutuskan sesuatu. Contohnya, apa pun yang dia pakai, dia beli, dia makan, itu selalu yang terbaik. Rekomendasi orang lain selalu cacat buat dia. Cara dia bersikap atau apa pun selalu yang terbaik, orang lain enggak. Jadi memang, untuk banyak hal aku memang mengikuti apa yang dia bilang hanya supaya nggak dihina oleh dia (karena orang toxic emang hobinya merendahkan orang lain dan suka nggak ngaca). Dan sekarang aku mencoba untuk lepas dari bayang-bayang dia. Aku beli apa yang aku suka --yang dulu selalu dia cemooh, nggak lebih baik dari yang dia punya. Dia sering ngelarang-ngelarang aku beli yang aku suka karena menurutnya nggak guna kalau dia tahu aku punya duit. Sementara kalau dia punya duit, beli yang nggak penting pun, nggak ada yang heboh ke dia. Egois memang.

Indeed. Karena si toxic orangnya heboh (marah-marah mulu ke anaknya), setelah meninggalkan rumah kupingku jadi bebas teriakan nyaringnya yang sering nyebelin. Aku nggak suka setiap dia marah ke anaknya yang broken home (alias nggak punya bapak, dia cerai karena permasalahan yang malu-maluin). Aku sih ya kasihan sama anak-anaknya yang sering curhat kelakuan emaknya, tapi apa daya sih? Anaknya nanti mau jadi apa juga itu urusannya dia. Aku juga punya anak masih kecil dan mending aku berusaha agar anakku nggak kayak anak-anaknya.

Aku nekat bawa tas doang dari rumah dan pergi sama suami. Hanya bilang ke ortu kalau aku pergi. Ya emang caranya nggak baik. Suamiku nggak pernah ke rumah lagi. Aku juga nggak maksa. Aku nggak punya pilihan juga. Kembali ke suami, buang semua harga diri dan berusaha ngelupain semua yang udah terjadi walaupun masih dihujani kata-kata cacian dari si toxic ini (aku sempat bales dengan lebih nyakitin juga sih, aku ingetin dia lagi soal aibnya supaya berhenti ngurusin hidup aku karena ini orang mulutnya nggak bisa diam dan terus saja menghakimi. Aku rasa sesabar-sabarnya orang kalau hidupnya terus dihakimi ya bakal emosi juga kalau ketemu tipe manusia kayak gini).  Satu-satunya yang aku inginkan adalah menjauh dari si toxic. Dan ternyata emang benar, menjauhi orang-orang toxic, adalah salah satu cara untuk bisa hidup lebih baik. Meskipun harus kere, meskipun harus numpang tinggal di rumah orang, hari-hari terselamatkan kalau orang-orang toxic nggak ada.

Meski pun kadang kenyataannya aku ngerasa keputusanku salah, tapi hanya demi menjauhi orang toxic di keluargaku yang for whole my life dari aku kecil sampai segede gini seringkali bikin aku berkecil hati dan down.  Nggak tahu deh orang kayak gitu tujuan hidupnya apa. Kayaknya kalau nggak ngomentarin dan ngerasa bener sendiri dalam masalah orang lain, hidupnya nggak bahagia.

Anyway, aku berhasil menjauhi semua hal yang aku harus deal with walaupun nggak suka, walaupun jalan kembali ini juga  bukan sesuatu yang aku sukai juga. Karena saat berpisah aku sudah menimbang-nimbang sisi positif dan negatif kalau balikan (dan hasilnya saat itu lebih berat negatifnya) Tapi, ya sekali lagi, karena aku punya anak yang masih kecil dan kadang suka sedih sendiri, ya harga diri, omongan sadis saudaraku yang ngata2in aku nggak punya otaklah, bla bla bla, jadi nggak ada artinya sekarang.

Masalah belum selesai

Aku mungkin masih menjalani toxic marriage di mana aku lebih banyak sebagai penonton atas apa pun yang terjadi dalam rumah tangga yang disetir orang lain. Kadang-kadang masih beranggapan, kalau bagi suami dan keluarganya, aku hanya tempat untuk melahirkan anak atau kadang ngerasa kalau aku ini cuma pembantu yang ngurusin dia dan anakku. Not more. Kadang aku merasa jadi beban bagi suami yang harusnya bisa lega karena nggak perlu kerja keras ketika kami pisah tapi tiba-tiba dia harus putar otak lagi buat menghidupi aku dan anak. Beneran deh, kata-kata 'jadi beban orang lain' yang menjadi momok nakutin setelah saudaraku yang toxic nge-cap aku kayak gitu bikin aku jadi overthinking. Belum lagi satu omongan suami yang nggak bisa aku cabut dari memoriku yang mengindikasikan kalau dia merasa terbebani sama aku. 

Aku nggak tahu apa aku bisa mengkategorikan suamiku sebagai orang yang toxic juga. Tapi, mungkin nggak terlalu. Dia punya banyak sisi baik juga sih dan setelah balikan aku jadi sadar, bahwa mungkin hanya aku yang terlalu berharap banyak. Cara satu-satunya yang paling mungkin untuk menghindari konflik sama pasangan yang yah... begitu-begitu aja (masih suka menyalahkan aku dan semaunya sendiri) dengan pasang sikap bodo amat.

Even seorang Nia Ramadhani dan Nagita Slavina sebenernya punya konflik tersendiri dan mereka so far so good aja dengan nggak terlalu mikirin banyak soal suami mereka. Waktu Rafiah digosipin sama penyanyi dangdut, dia ditanyain di salah satu chanel yutup siapa gitu dia bilang cara menghadapi masalah ya cuma 'lempeng aja' alias nggak dipikirin banget. Kalau Nia Ramadhani bilang 'jangan berharap terlalu banyak sama pasangan. Harus selalu dipahami kalau kebutuhan lo sama suami lo itu beda.' Lihat kan mereka masih adem ayem. 

Pada satu kesempatan aku juga pernah nonton chanel youtube seorang ustadz dan di kolom komentar ternyata penuh dengan istri-istri yang juga ngalamin kayak aku. Dan dari sanalah aku dapat pencerahan dan dalam sekejap berhenti nangis menyalahkan diri sendiri, dan bilang ke diriku 'I'm not the only one', dan sebenarnya apa yang aku alami nggak seburuk yang aku takutkan. Akhirnya aku bisa tenang. Setelah akhirnya menjauhi orang toxic, aku mengerti apa yang salah dalam rumah tanggaku.

Oke, sifat bodo amat yang sama sekali nggak pernah aku miliki yang mau nggak mau harus aku kuasai. Dengan hampir nggak mau tahu apa pun yang dia lakukan yang berpotensi bikin aku marah, itu sangat membantu, meski pun itu efeknya kami nggak dekat secara emosional (rasanya sih hal ini memang udah ada juga sejak awal menikah, suami tipe orang yang loyal banget sama temen-temen dan keluarga asalnya no matter what happens, keberadaanku sebagai istri sangat terpinggkirkan dan ini selalu jadi konflik yang nggak selesai-selesai dari awal pernikahan even now).

Tapi, yang namanya hidup, ada aja masalahnya. Tergantung kemudian diri kita sendiri, mau sampai kapan musingin orang toxic?


Dеmіkіаnlаh Artikel [Story of My Life] Me VS Toxic Peoples, Hilang Satu Tumbuh Seribu? What a Life!

Sеkіаnlаh artikel [Story of My Life] Me VS Toxic Peoples, Hilang Satu Tumbuh Seribu? What a Life! kаlі іnі, mudаh-mudаhаn bіѕа mеmbеrі mаnfааt untuk anda ѕеmuа. bаіklаh, ѕаmраі jumра dі postingan artikel lаіnnуа.

Andа ѕеkаrаng mеmbаса artikel [Story of My Life] Me VS Toxic Peoples, Hilang Satu Tumbuh Seribu? What a Life! dеngаn lіnk https://ebookzea.blogspot.com/2020/07/story-of-my-life-me-vs-toxic-peoples.html

0 Response to "[Story of My Life] Me VS Toxic Peoples, Hilang Satu Tumbuh Seribu? What a Life!"

Post a Comment