Judul : [Baca Novel Dewasa] Di Penghujung Senja Bagian 3 (Hal 29)
link : [Baca Novel Dewasa] Di Penghujung Senja Bagian 3 (Hal 29)
[Baca Novel Dewasa] Di Penghujung Senja Bagian 3 (Hal 29)

Kado untuk Zuri
Bandung, 14 Februari 2011…
Hari ini Zuri berulang tahun yang ke dua puluh tiga. Sedangkan Kota Padang telah memperingati tragedi setahun gempa yang menewaskan seribu orang lebih warganya. Waktu itu ia tidak bisa pulang. Begitu cepatnya waktu berlalu dan cukup lama juga kami bersama. Walau tanpa ikatan apa-apa jika menyebut nama sahabat saja begitu kedengaran naif. Zuri tahu perasaanku.
Di saat terkenang dengan panasnya Kota Padang, aku kembali rindu akan Padang lantaran berencana ingin pulang ke kampung Papa. Kebetulan Zuri juga ingin mengunjungi pusara ayah dan Ibunya. Karena ia sedih ketika menjelang Ramadhan kemarin tidak bisa pulang untuk ziarah seperti kebiasaan orang Minang, menaburkan bunga tujuh rupa di makam mereka. Dia tak pernah meminta karena terlalu segan oleh sebab bergantung padaku.
“Semakin jauh pulang ke Padang, akan semakin lama aku di tanah Jawa Barat ini. Kamu sibuk dengan pekerjaan, bukan?” kata Zuri, terdengar seperti permohonan agar aku melepasnya untuk kembali ke kampung halamannya.
Aku hanya menatapnya. Aku tidak sibuk dengan pekerjaan. Lagipula sesibuk apapun aku di Jakarta, bagaimana bisa aku lupa bahwa dia tinggal bersamaku? Sebenarnya, aku hanya sibuk mengikuti arus, mengikuti ke mana angin bertiup, dengan teman-teman dalam gemerlap klub malam. Aku tidak bisa mengakuinya pada Zuri karena ia sendiri juga sudah tahu apa yang kulakukan. Bukannya takut dilarang pergi sampai lewat tengah malam lalu pulang dalam keadaan mabuk. Tapi, tahu pun, Zuri tidak peduli. Jangankan peduli, bahkan ia tidak bertanya.
“Ternyata bukan hanya aku yang dirubah sedemikian rupa oleh waktu, kamu pun juga,” kata dia padaku, terdengar getir.
Ya. Mungkin saja. Tak ada lagi Attar yang berjiwa bebas seperti burung yang terbang, ia telah tergantikan oleh Attar yang ambisius. Aku tak tahu lagi harus bagaimana.
“Apa semua itu kamu lakukan demi menghindariku? Karena lelahnya kamu berhadapan denganku yang tak kunjung memberikan jawaban?”
Aku tidak menjawab. Dan hanya menatapnya.
Zuri mulai berwajah muram meski ia menyembunyikannya dariku dengan menunduk serendah-rendahnya di hadapanku. “Apa yang harus aku lakukan jika aku sendiri tidak yakin?” dia bertanya padaku, “akan menjadi kekasihmu sedangkan suatu hari nanti aku akan meninggalkanmu juga seperti aku tinggalkan dunia ini kelak? Sanggupkah kamu kehilangan orang yang dicintai di saat cinta baru saja tumbuh? Aku akan meninggalkan luka yang dalam di hatimu, Attar…”
Tapi, aku tidak menanggapi semua itu dengan merayu. Aku hanya memberikan kadonya. Untuk inilah aku sengaja menempuh jalan berjam-jam dari Jakarta dan menghadapi kemacetan yang panjang semalam.
“Apa ini?" Zuri mengerutkan dahinya, tapi tetap menerima sebuah kotak yang baru saja kuberikan kepadanya sebagai hadiah ulang tahun.
“Buka saja," kataku, sambil tersenyum tak dapat bersabar menunggu Zuri membukanya dan melihat sendiri seistimewa apa kado ulang tahun yang telah kusiapkan jauh sebelum hari ini tiba.
Sebuah kotak berwarna kuning emas yang besar sekali, dihiasi oleh pita merah di atasnya. Lalu Zuri membuka tutup kotak berpita itu. Sebuah baju dengan warna salam terlipat dengan rapi di dalamnya. Ia buka lipatan gaun itu hingga terkembang sempurna di hadapan matanya. “Indah sekali...,” dia bekata dengan takjub hingga matanya membelalak. Lalu menatapku lagi. “Benarkah baju seindah ini dihadiahkan untukku?" tanyanya, memandang gaun itu lagi lalu aku dan tampak tak puas.
“Kepada siapa lagi?" balasku. "Pakailah baju itu nanti malam. Kita akan pergi ke suatu tempat”
“Ke mana?”
Aku segera berdiri. "Ikutlah saja," kataku sebelum pergi. Membiarkan Zuri bersiap-siap.
Hari ini hari Valentine –Hari Kasih Sayang. Kalau bukan karena tanggal 14 Februari bukan ulang tahun Zuri, hari itu tidak aka nada istimewanya. Sama saja seperti hari-hari lain, di mana aku selalu berkeluh kesah tentang asmara. Tapi, jadi teringat bahwa dulu aku dan Zuri sama-sama menganggap bahwa Valentine tidak perlu harus dirayakan. Aku juga maka coklat tiap hari sedangkan Zuri sama sekali tidak suka coklat. Saat teman-teman Nasrani kami sibuk merayakannya di kampus, kami lebih memilih makan nasi ampera di kedai sebelah. Memang orang-orang berkasih sayang hanya sehari dalam 365 hari?
Orang-orang membesar-besarkan perayaan Valentine hanya untuk tujuan komersil karena sebenarnya itu bukan budaya orang timur –terlebih orang Minang.
Tapi, setelah Zuri mengenal Han, hari itu dia menghilang di kampus –tepatnya membolos. Zuri tidak pernah melalaikan kuliahnya karena alasan apapun. Tapi, ketika Han menjadi pengecualian rasanya aku benar-benar sudah tersingkir. Lama setelah hari ulang tahunnya, kami tidak juga bisa duduk bersama di warung nasi sebelah. Orang itu datang menjemputnya setiap hari tepat pada waktunya hingga bahkan rela menunggu sampai semua mata kuliah selesai.
Ketika akhirnya kami bertemu di salah satu mata kuliah, aku memanfaatkan kesempatanku untuk mendapatkan perhatiannya. Kebetulan aku melihat coklat di dalam tasnya dan aku mengambilnya.
“Attar ?!” Zuri terkejut.
“Wah, cokelat Belgia!” seruku dengan girang. “Beli di mana?”
Kupikir daripada mubazir aku pun memakannya. Dan Zuri tidak protes. Mungkin karena dia juga tidak mau makan coklat itu.
“Enak ya?" tanya Zuri padaku.
Aku mengangguk,”Rugi kamu tidak suka cokelat,"kataku. Memandangi bungkusan coklat bermerek luar negeri yang kurasa tidak dijual di Indonesia itu. Semua tulisannya hanya berbahasa Belgia. Dari mana Zuri mendapatkannya?."Tapi, kalau tidak suka cokelat kenapa kamu punya cokelat?”
“Itu hadiah ulang tahun” jawab Zuri, dan seketika aku terenyak. Barulah aku tahu, bahwa yang memberikan cokelat itu tak lain adalah Han. Karena selain Han siapa lagi yang memberinya hadiah ini?
Aku harus menahan rasa mual di depan Zuri sebelum aku keluar dari kelas. Hatiku kesal sekali. kenapa aku melakukan hal bodoh itu? Aku pun membuang cokelat itu ke tempat sampah dengan perasaan kesal. Lalu aku mencoba memuntahkannya kembali karena jijik seperti memakan yang haram bagi seorang muslim.
***
Dеmіkіаnlаh Artikel [Baca Novel Dewasa] Di Penghujung Senja Bagian 3 (Hal 29)
Andа ѕеkаrаng mеmbаса artikel [Baca Novel Dewasa] Di Penghujung Senja Bagian 3 (Hal 29) dеngаn lіnk https://ebookzea.blogspot.com/2020/07/baca-novel-dewasa-di-penghujung-senja.html
0 Response to "[Baca Novel Dewasa] Di Penghujung Senja Bagian 3 (Hal 29)"
Post a Comment